Thursday 30 October 2014

Aroma Masa Lalu


Hanya segelintir orang saja yang berada di peron lima ini, salah satunya diriku. Menunggu keretaku yang akan datang, katanya, beberapa menit lagi.
"Kapan kamu pulang?" tanya Mbak Ila saat aku menelponnya untuk menanyakan kabar orang tuaku, "Aku belum tahu, Mbak. Aku belum dapat ongkos pulang, apa lagi untuk diberikan ke ibu." kataku seraya menjawab pertanyaannya. Saat itu aku mendengarnya mendesah, "Sudah lima tahun kau tidak pulang, disini semua mengkhawatirkanmu, memang kita berharap kamu bisa dapat kehidupan yang layak di Jakarta." katanya.
Layak adalah kata yang selalu aku cari selama tinggal di Ibu Kota ini. Namun semuanya pudar saat Satpol PP mendatangi tempat bisnis aku bersama Joko, anak kuliahan yang jago IT, kami bisnis jualan CD dan DVD perogram atau game komputer. Semuanya modal sendiri. Namun kedatangan petugas siang itu membuat semua impianku sama Joko berantakan.
Aku teringat saat beberapa mahasiswa mencoba menghalangi mereka, yang mau merobohkan bangunan usaha kami, semua penuh amarah, "Kami punya surat-surat resmi!" teriak mereka juga para pemilik kios di sepanjang jalan yang ditertibkan, "Kami resmi dan membayar premi setiap bulannya!" teriak kami lagi, "Tapi ini lahan Pemda, ini melanggar dan harus di bongkar!" itu jawaban mereka yang berlawanan dengan kami. Kami ada surat, membayar bulanan, namun itu tetap salah?
Semua yang ada disana hanya mampu menyaksikan buldozer dan beberapa alat berat meratakan bangunan yang kami bangun dari nol, kami bangun dengan impian tinggi. Saat mereka bergerak, tak terdengar lagi teriakan berkoar, tak terdengar pula pemberontakan yang tadi membakar kami.
Beruntung bagi mereka yang sudah menyelamatkan hartanya dan dagangannya. Tapi aku dan Joko memilih untuk membiarkannya. Kami mencopy secara ilegal, khawatir dipermasalahkan lebih jauh, kami berdua langsung meninggalkan lokasi setelah memungut tas kami yang tertinggal di puing-puing bekas kios.
Aku menatap kepingan-kepingan CD itu dengan miris di hati. Selamat tinggal impianku. Joko yang memang ahli IT langsung di cemooh di media sosial, "Makanya jangan jual barang bajakan! Gak bakal awe usaha elo!" teriak mereka di sana, padahal aku tahu Joko hanya memposting status di akunnya dengan kata : "Maaf, saya sudah tidak punya apa-apa lagi untuk dibagikan, semua software saya dimusnahkan siang ini." lebih miris mendengarnya. Namun hebatnya tidak ada kemarahan untuk wajahnya.
"Pulanglah ke Yogya, Mas..." katanya dengan nada lemas, mungkin pikirannya sudah lemah, "Nanti setelah saya dapat proyek baru, Mas akan saya panggil lagi. Hitung-hitung mengobati kangen sama keluarga di sana." katanya sambil mengantarku ke kontrakannya. Setelah itu aku tertidur tanpa bersuara, sedangkan ia sibuk mencopy beberapa file yang masih tersisan di laptopnya.
Aku tidak langsung menurutinya untuk kembali ke Yogyakarta. Mengingat aku tidak memegang uang sepeserpun. Sialnya diriku.


Aku menghubungi Yogyakarta dengan maksud meminta modal. Sayangnya Mbakku mengatakan hal tadi itu, dan membuat aku urungkan niat mengatakannya. Setelah telepon ditutup aku memutuskan melihat-lihat puing-puing bangunan kios yang sudah rata dengan tanah.
Ada beberapa penjaga dari Satpol PP yang masih berada di lokasi. Tepat di samping pohon palm kiosku berada. Ingin sekali aku menangisi apa yang tidak bisa lagi aku tempati, dimana materi berada di dalamnya.
Sampai seorang mahasiswa yang melintas di jalan tersebut menepuk bahuku, "Maaf, Mas." sapanya, "Kenapa Mas berdiri di sini? Mas mau kemana?" tanya sembil melepas jaket almamaternya yang berwarna kuning menyala, "Saya ndak mau kemana-mana, cuma nengok bekas kios saya saja. Mungkin masih ada yang bisa diambil, eh ternyata udah di beresin sama petugas." jawabku sambil membetulkan tasku.
"Loh, di sini itu bukannya kios CD - DVD copyan kan? Kalau tidak salah punya Mas Joko ya?" tanyanya dengan penuh keheranan, aku mengangguk kecil, "Iya betul." jawabku.
"Memang, Mas ini siapanya Mas Joko?" tanyanya penasaran, "Saya yang kerja sama dengan Mas Joko." jawabku dan bersiap melangkah pergi, aku pikir dialog ini tidak terlalu penting, "Sebentar!" cegah orang tersebut. Ia menghalangi langkahku dan menarikku ke samping bekas kiosku, lalu memintaku duduk di emperan trotoar.
"Ada apa ya, Mas? Karena rencananya saya mau pulang." kataku, "Sebentar aja, Mas." katanya, akupun mengangguk, "Apa Mas bisa mengembangkan sebuah proyek web? Karena saya sama teman saya sedang membangun usaha, produk makanan. Saya pikir Mas mengerti soal web karena usaha mas kemarin pasti berhubungan dengan komputerisasi." wah, kenapa kebetulan sekali?
Aku cepat mengangguk, "Benar, Mas? Kebetulan waktu itu mas Joko pernah ngajarin saya beberapa program dan desain web. Pakai Flash, HTML, atau pengaktifan domain." mendengar itu ia tampak sumringah, "Nah itu dia, sebetulnya saya lewat sini karena mau tahu apa Mas Joko masih mampir ke sini. Ya, namanya juga bekas usaha, entah mau mengenang atau tidak, tapi kebetulan ada Mas, mungkin kalau Mas bisa dan mau, saya oper ke Mas aja proyeknya, bagaimana?"
Itulah awal perkenalanku dengan mahasiswa yang setelah itu baru memperkenalkan diri bernama Mugi. Ia menawari satu proyek sederhana, dan mempercayakan semua pembangunan dan marketing mayanya kepadaku. Dia memberiku tawaran yang tidak bisa ditolak, dengan bayaran sistem transfer sehingga aku bisa mengerjakannya di mana saja.
Modal yang dia berikan berupa peminjaman netbook dan modem, namun aku tolak karena aku mau pulang kampung dulu. Namun ia memaksa karena katanya aku bisa mengerjakannya selama di kampung nanti. Setelah paksaan tersebut, akhirnya aku menyetujuinya.
Aku tidak lepas tangan atau kabur, aku mengerjakan setengah proyek di kontrakan Mas Joko. Dan bemnar, bayaranpun masuk ke rekeningku. Kini aku bisa pulang kampung, bahkan sambil bekerja di sana nanti.
Akhirnya keretaku tiba, petugas melalui pengeras suara menyebutkan tujuan kereta tersebut. Aku dan beberapa orang di sana memasuki kereta.
Baru saja duduk di kursiku, ponselku berdiring, ternyata dari Mugi, "Wah, Mas..." katanya, "Aku sudah liat desainnya, keren banget!" serunya dari sana, "Alhamdulillah kalau Mas suka. Itu baru perkenalan saja, menu dan konten lainnya nanti aku kerjakan setelah sampai di Yogyakarta ya, Mas." tanyaku, aku mendengarnya ia tertawa, "Ha ha ha... Iya, Mas. Sebenarnya ini diluar dugaan aku sama temenku, cepat banget kerjanya Mas. Nanti malam akan saya kirim lewat email atau MMS ke HP foto-foto makanan dan lokasi usaha kita. Mas tolong masukin ke web ya, setelah masuk akan segera aku urus transferan bayarannya." mendengar itu aku tersenyum lebar, "Oke, saya tunggu, Mas!" komunikasipun terputus samapai disana.
Kereta mulai bergerak, aku mengetik SMS ke Mbak Ila, "Aku udah di kereta, Mbak. Baru saja jalan, udah enggak sabar sampai sana." tulisku lalu dikirim ke nomornya.
Aku mencium aroma itu lagi, aroma lama yang sudah tidak aku rasakan lagi selama di Jakarta. Alun-alun, Malioboro, terutama ibu dan bapak. Mendengar suaranya saja jarang. Aku pulang.

Depok, 5 Juni 2013

18.10 WIB
"Cerpen sederhana, tapi enjoy juga. Setelah 2 kartu kereta baru aku pegang ada mbak-mbak nyasar naik kereta. Semoga saja dia tidak salah lagi. Aku melanjutkan jalannya. Mungkin perjalan "aku" di cerpen bisa mengisyaratkan sedikit kesederhanaan soal garis rezeki yang sudah Allah SWT gariskan ke setiap umatnya."

No comments:

Post a Comment

Untuk kemajuan blog saya, harap tinggalkan komentar, kritik, masukkan, dan yang lainnya untuk saya. Sesudah dan sebelumnya saya ucapkan banyak-banyak terimakasih.