Hanya segelintir orang saja yang berada di peron
lima ini, salah satunya diriku. Menunggu keretaku yang akan datang, katanya,
beberapa menit lagi.
"Kapan kamu pulang?" tanya Mbak Ila
saat aku menelponnya untuk menanyakan kabar orang tuaku, "Aku belum tahu,
Mbak. Aku belum dapat ongkos pulang, apa lagi untuk diberikan ke ibu."
kataku seraya menjawab pertanyaannya. Saat itu aku mendengarnya mendesah,
"Sudah lima tahun kau tidak pulang, disini semua mengkhawatirkanmu, memang
kita berharap kamu bisa dapat kehidupan yang layak di Jakarta." katanya.
Layak adalah kata yang selalu aku cari selama
tinggal di Ibu Kota ini. Namun semuanya pudar saat Satpol PP mendatangi tempat
bisnis aku bersama Joko, anak kuliahan yang jago IT, kami bisnis jualan CD dan
DVD perogram atau game komputer. Semuanya modal sendiri. Namun kedatangan
petugas siang itu membuat semua impianku sama Joko berantakan.
Aku teringat saat beberapa mahasiswa mencoba
menghalangi mereka, yang mau merobohkan bangunan usaha kami, semua penuh
amarah, "Kami punya surat-surat resmi!" teriak mereka juga para
pemilik kios di sepanjang jalan yang ditertibkan, "Kami resmi dan membayar
premi setiap bulannya!" teriak kami lagi, "Tapi ini lahan Pemda, ini
melanggar dan harus di bongkar!" itu jawaban mereka yang berlawanan dengan
kami. Kami ada surat, membayar bulanan, namun itu tetap salah?
Semua yang ada disana hanya mampu menyaksikan
buldozer dan beberapa alat berat meratakan bangunan yang kami bangun dari nol,
kami bangun dengan impian tinggi. Saat mereka bergerak, tak terdengar lagi
teriakan berkoar, tak terdengar pula pemberontakan yang tadi membakar kami.
Beruntung bagi mereka yang sudah menyelamatkan
hartanya dan dagangannya. Tapi aku dan Joko memilih untuk membiarkannya. Kami
mencopy secara ilegal, khawatir dipermasalahkan lebih jauh, kami berdua
langsung meninggalkan lokasi setelah memungut tas kami yang tertinggal di
puing-puing bekas kios.
Aku menatap kepingan-kepingan CD itu dengan
miris di hati. Selamat tinggal impianku. Joko yang memang ahli IT langsung di
cemooh di media sosial, "Makanya jangan jual barang bajakan! Gak bakal awe
usaha elo!" teriak mereka di sana, padahal aku tahu Joko hanya memposting
status di akunnya dengan kata : "Maaf, saya sudah tidak punya apa-apa lagi
untuk dibagikan, semua software saya dimusnahkan siang ini." lebih miris
mendengarnya. Namun hebatnya tidak ada kemarahan untuk wajahnya.
"Pulanglah ke Yogya, Mas..." katanya
dengan nada lemas, mungkin pikirannya sudah lemah, "Nanti setelah saya
dapat proyek baru, Mas akan saya panggil lagi. Hitung-hitung mengobati kangen
sama keluarga di sana." katanya sambil mengantarku ke kontrakannya.
Setelah itu aku tertidur tanpa bersuara, sedangkan ia sibuk mencopy beberapa
file yang masih tersisan di laptopnya.
Aku tidak langsung menurutinya untuk kembali ke
Yogyakarta. Mengingat aku tidak memegang uang sepeserpun. Sialnya diriku.
Aku menghubungi Yogyakarta dengan maksud meminta
modal. Sayangnya Mbakku mengatakan hal tadi itu, dan membuat aku urungkan niat
mengatakannya. Setelah telepon ditutup aku memutuskan melihat-lihat puing-puing
bangunan kios yang sudah rata dengan tanah.
Ada beberapa penjaga dari Satpol PP yang masih
berada di lokasi. Tepat di samping pohon palm kiosku berada. Ingin sekali aku
menangisi apa yang tidak bisa lagi aku tempati, dimana materi berada di
dalamnya.
Sampai seorang mahasiswa yang melintas di jalan
tersebut menepuk bahuku, "Maaf, Mas." sapanya, "Kenapa Mas
berdiri di sini? Mas mau kemana?" tanya sembil melepas jaket almamaternya
yang berwarna kuning menyala, "Saya ndak mau kemana-mana, cuma nengok bekas
kios saya saja. Mungkin masih ada yang bisa diambil, eh ternyata udah di
beresin sama petugas." jawabku sambil membetulkan tasku.
"Loh, di sini itu bukannya kios CD - DVD
copyan kan? Kalau tidak salah punya Mas Joko ya?" tanyanya dengan penuh
keheranan, aku mengangguk kecil, "Iya betul." jawabku.
"Memang, Mas ini siapanya Mas Joko?"
tanyanya penasaran, "Saya yang kerja sama dengan Mas Joko." jawabku
dan bersiap melangkah pergi, aku pikir dialog ini tidak terlalu penting,
"Sebentar!" cegah orang tersebut. Ia menghalangi langkahku dan
menarikku ke samping bekas kiosku, lalu memintaku duduk di emperan trotoar.
"Ada apa ya, Mas? Karena rencananya saya
mau pulang." kataku, "Sebentar aja, Mas." katanya, akupun mengangguk,
"Apa Mas bisa mengembangkan sebuah proyek web? Karena saya sama teman saya
sedang membangun usaha, produk makanan. Saya pikir Mas mengerti soal web karena
usaha mas kemarin pasti berhubungan dengan komputerisasi." wah, kenapa
kebetulan sekali?
Aku cepat mengangguk, "Benar, Mas?
Kebetulan waktu itu mas Joko pernah ngajarin saya beberapa program dan desain
web. Pakai Flash, HTML, atau pengaktifan domain." mendengar itu ia tampak
sumringah, "Nah itu dia, sebetulnya saya lewat sini karena mau tahu apa
Mas Joko masih mampir ke sini. Ya, namanya juga bekas usaha, entah mau
mengenang atau tidak, tapi kebetulan ada Mas, mungkin kalau Mas bisa dan mau,
saya oper ke Mas aja proyeknya, bagaimana?"
Itulah awal perkenalanku dengan mahasiswa yang
setelah itu baru memperkenalkan diri bernama Mugi. Ia menawari satu proyek
sederhana, dan mempercayakan semua pembangunan dan marketing mayanya kepadaku.
Dia memberiku tawaran yang tidak bisa ditolak, dengan bayaran sistem transfer
sehingga aku bisa mengerjakannya di mana saja.
Modal yang dia berikan berupa peminjaman netbook
dan modem, namun aku tolak karena aku mau pulang kampung dulu. Namun ia memaksa
karena katanya aku bisa mengerjakannya selama di kampung nanti. Setelah paksaan
tersebut, akhirnya aku menyetujuinya.
Aku tidak lepas tangan atau kabur, aku
mengerjakan setengah proyek di kontrakan Mas Joko. Dan bemnar, bayaranpun masuk
ke rekeningku. Kini aku bisa pulang kampung, bahkan sambil bekerja di sana
nanti.
Akhirnya keretaku tiba, petugas melalui pengeras
suara menyebutkan tujuan kereta tersebut. Aku dan beberapa orang di sana
memasuki kereta.
Baru saja duduk di kursiku, ponselku berdiring,
ternyata dari Mugi, "Wah, Mas..." katanya, "Aku sudah liat
desainnya, keren banget!" serunya dari sana, "Alhamdulillah kalau Mas
suka. Itu baru perkenalan saja, menu dan konten lainnya nanti aku kerjakan
setelah sampai di Yogyakarta ya, Mas." tanyaku, aku mendengarnya ia
tertawa, "Ha ha ha... Iya, Mas. Sebenarnya ini diluar dugaan aku sama
temenku, cepat banget kerjanya Mas. Nanti malam akan saya kirim lewat email
atau MMS ke HP foto-foto makanan dan lokasi usaha kita. Mas tolong masukin ke
web ya, setelah masuk akan segera aku urus transferan bayarannya."
mendengar itu aku tersenyum lebar, "Oke, saya tunggu, Mas!"
komunikasipun terputus samapai disana.
Kereta mulai bergerak, aku mengetik SMS ke Mbak
Ila, "Aku udah di kereta, Mbak. Baru saja jalan, udah enggak sabar sampai
sana." tulisku lalu dikirim ke nomornya.
Aku mencium aroma itu lagi, aroma lama yang
sudah tidak aku rasakan lagi selama di Jakarta. Alun-alun, Malioboro, terutama
ibu dan bapak. Mendengar suaranya saja jarang. Aku pulang.
Depok, 5 Juni 2013
18.10 WIB
"Cerpen
sederhana, tapi enjoy juga. Setelah 2 kartu kereta baru aku pegang ada
mbak-mbak nyasar naik kereta. Semoga saja dia tidak salah lagi. Aku melanjutkan
jalannya. Mungkin perjalan "aku" di cerpen bisa mengisyaratkan
sedikit kesederhanaan soal garis rezeki yang sudah Allah SWT gariskan ke setiap
umatnya."
No comments:
Post a Comment
Untuk kemajuan blog saya, harap tinggalkan komentar, kritik, masukkan, dan yang lainnya untuk saya. Sesudah dan sebelumnya saya ucapkan banyak-banyak terimakasih.