“Hei…” suara itu membangunkan tidurku, “Apa di
sana ada dirimu?” tanya suara itu dengan lantang. Aku usap-usap mataku dengan
cepat, aku sangat bersemangat mendengar suaranya, “Kau yang kemarin itu?”
tanyaku balik kepadanya, “Iya, aku yang kemarin! Kemarin kita bertemu dan
tertawa bersama!” serunya sangat riang.
Aku sungguh senang bisa bertemu dengannya lagi,
“Sudah berapa lama kau tidur disana?” tanyanya lagi, aku menggelengkan kepala,
“Entah, kawan!” jawabku cepat, aku benar-benar bersemangat, “Rasanya semalam
kemarin aku tidur, mungkin seharian kemarin aku tertidur…” aku
menggerak-gerakkan kakiku, “Dan kau tahu ini hari apa?” aku menunggu
jawabannya, namun ia tidak terdengar untuk beberapa lama, mungkin beberapa
menit, “Hei, kau masih disana?” aku masih menunggunya, namun belum ada jawaban.
“Kau…” akhirnya ia merespon pertanyaanku, “Kau
akan segera meninggalkan area ini, bukan?” aku mendengar suaranya dengan nada
bersedih, “Apa maksud dengan kesedihanmu itu? Bukankah kau seharusnya senang
melihatku yang akan segera keluar dari tempat ini, menuju tempat yang lebih
baik?” aneh, biasanya dia sangat bersamangat dengan semua percakapanku
dengannya.
Keheningan terasa, sampai aku harus menggerakkan
kaki dan akhirnya terdengar suaranya lagi, “Entahlah, kawan…” katanya dengan
nada lemah, “Aku benar-benar tidak tahu keadaan di luar, aku sungguh-sungguh
buta akan hal itu!” aku merasakan kalau kesedihannya sangat dalam, “Aku tidak
tahu kenapa tidak bersemangat hari ini, mungkin setelah aku sadari kalau kita
pasti akan berpisah, kawan.” katanya lagi dengan suara parau dan hampir
menangis, “Aku takut!” akhirnya ia benar-benar menangis.
“Apa yang kau takutkan?”
“Banyak, kawan!” jawabnya dengan cepat, aku
dapat merasakan emosinya meluap-luap, “Sinar matahari yang menyakitkan, orang
tua yang tak jelas asal usulnya, dan… dan…”, “APA?” potongku, “Dan dosa,
kawan!” aku mendengar itu, aku tahu arti kata itu. Akupun terdiam, tapi
akhirnya aku menemukan jawaban untuk hal tersebut, “Bukankah kita akan
mendapatkan ganjaran yang setimpal dengan apa yang kita lakukan nanti?”
“Apa maksudmu?”
“Surga, kawan!”
“Dan juga neraka!”
Aku menggelengkan kepala, “Neraka hanya untuk
para orang zholim, kawan!” hardikku terdengar keputusasaannya, “Neraka hanya
bagi mereka yang melakukan kejahatan, seperti merampok, para korupsi, pembunuh,
pembuang anak-anaknya, si penghumbar janji, dan…”, “Dan orang sholih yang
mengharapkan imbalan atas apa yang dia katakan dan lakukan!” potongnya cepat,
aku tersentak mendengar itu, “Hah?” hanya kata itu yang sanggup keluar dari
pikiranku yang bingung, “Seperti seorang kiayi atau ustadz yang menargetkan
tarif dakwahnya, atau seorang yang telah berangkat ke Tanah Suci Makkah dan
berharap orang lain memanggilnya dengan sebutan Pak Haji atau Ibu Hajjah, mungkin
alim ulama yang mengajarkan kekerasan pada pengikutnya sehingga mereka menjadi
radikal dan mengarah pada tindakan anarkis.” jantungku serasa berhenti
mendengarnya.
“Yang benar saja?!” kataku menyangkal semuanya,
“Mana ada manusia yang seperti itu di dunia ini?” teriakku, “Banyak, kawan!”
katanya langsung, “Aku mendengarnya langsung...”
“Apa yang mereka katakan lagi?”
“Mereka menceritakan banyak hal. Diataranya hal
yang tadi aku sebutkan tadi!”
jawabnya, “Apa ada yang lain, yang kau dengar tentunya?” aku tahu ia
menganggukkan kepalanya, “Ada, kawan…” katanya, “Mereka menceritakan banyak
pengetahuan palsu yang telah tersebar, tentang jagat raya ini, alam semesta
yang menepiskan keberadaan campur tangan Tuhan didalamnya, penciptaan manusia
baru tanpa Tuhan pula didalamnya, lahir anak tanpa jelas ayahnya, sampai pada
fitnah besar yang akan menghantam umat manusia dan menimbulkan perang besar!”
“Kau percaya semua itu?”
“Entahlah…”
“Kau sadar atas kepercayaanmu itu?”
“Yang aku tahu, akan banyak lahir pemimpin yang
bangga akan kepemimpinannya, berjanji di bawah kitab suci dengan sebuah
perkataan yang kuat, seakan dirinya mampu melakukannya. Pemimpin yang
mengangkat derajat kalangannya sendiri tanpa memikirkan rakyatnya. Pemimpin
yang tegas terhadap rakyatnya dengan hukum-hukum dan aturan yang mencekik untuk
rakyatnya namun menimbun harta sebanyak-banyaknya untuk diri dan keluarganya
sendiri. Dan pemimpin yang hanya mau mendengarkan tanpa mau bersusah payah
melaksanakan apa yang diamanahkan dari pendengarannya itu, dan dari semua
mereka itu mau dipilih lagi untuk kesekian kalinya diwaktu yang akan datang.”
“Kau gila, mana ada orang sejahat itu?”
“Sangat banyak, kawan!” katanya hampir
berteriak. Keheningan terasa lagi, kali ini aku merinding, aku merasakan hawa dingin
menyeruak kedalam duniaku saat ini.
“Kawan…” katanya lagi, “Apa yang kau harapkan
setelah kamu keluar dari tempat ini?Apa yang kau janjikan kepada Tuhanmu untuk
kehidupanmu kedepannya?”
Aku mengangkat bahu, aku bingung memilih yang
mana, semua yang dia katakan menjadikan dunia menjadi abstrak dan tak menentu,
bahkan didetik-detik aku ingin melangkah ke tingkat yang lebih jauh, “Aku…”
jawabku perlahan, “Aku tidak ingin menjadi Haji yang hanya memiliki label
didepannya namun culas dibelakangnya, aku tidak ingin jadi pemimpin yang
mengekor pada harta dan jabatan, aku juga tidak ingin menjadi khalifah yang
hanya manis di mulut namun pahit di perbuatannya, aku tidak ingin menargetkan
hidupku dengan harta dan harus dipilih atau tidak. Aku juga tidak mau anak-anakku
nanti memakan dan meminum sesuatu dari harta yang haram atau tidak jelas
asal-usulnya, aku tidak mau istriku menjadi pemain handal dalam kemaksiatan,
aku tidak mau pula anak-anakku mengikuti ajaran sesat dan kekerasan, aku ingin
menanamkan di diri mereka arti kebersamaan, arti konsistensi beragama namun
tolerensi tinggi dalam hidup seperti nabi mereka yang tidak pernah membalas
walau hujatan dan cacian menerpanya. Aku ingin menjadi khalifah yang
menyebarkan tonggak-tonggak agama tanpa memasang tarif dan ikhlas dalam
menyampaikannya. Aku…” aku terdiam sejenak, “Aku ingin meninggal bukan membawa
harta, warisan berupa uang bermilyar-milyar atau jabatan yang tinggi! Aku hanya
ingin meninggalkan dunia ini dengan ditemani kain kaffan, beberapa lembar kayu,
dan sebidang tanah kecil sepanjang tubuhku, serta warisan agama untuk anak-anak
dan istriku! Aku mau tersenyum saat orang lain menangisi kepergianku nanti…”
Aku mendengarnya menghela napas panjang.
“Aku beriman atas nama Tuhanku dan akan
mengikuti ajaran nabiku terdahulu!” aku merasakan sebuah dorongan dan tarikan
sekaligus, “Selamat menempuh perjalanan baru, kawan…” katanya dengan suara yang
terdengar mengecil, “Ingatlah terus akan janjimu itu…” katanya lagi, “Dan kita
akan bertemu lagi di surga-Nya kelak.”
Aku menangis sejadi-jadinya, saat orang lain
membalikkan badanku, aku lihat dengan
pandangan buram cahaya masuk ke mataku, menyeruak bebas tanpa batas dalam
sebuah ruangan serba putih, “Waaaahhh…” suara seorang laki-laki di hadapanku
terdengar sangat riang, “Selamat Bapak… selamat Ibu… anak Anda lahir sempurna
dan sehat…” suara laki-laki itu lagi, aku diletakkan di dada seorang wanita
berpeluh banyak dengan aroma khas dari keringatnya tersebut, “Boleh diadzankan
sekarang, Dok?” kata laki-laki lainnya, “Silahkan, Bapak…”
Selanjutnya aku mendengar lantunan syair yang
merdu dari suara parau seorang pria yang mengalirkan deras air matanya,
“Allahuakbar… Allahuakbar…” katanya, “Allahuakbar… Allahuakbar…” aku tidak lagi
menangis aku tersenyum, suara adzan tersebut sangat lembut ditelingaku, sampai
di syairnya yang terakhir.
Wanita yang tadi menggendongku mencium keningku,
“Selamat datang, sayang…” kata mereka berdua menangis terharu, “Selamat datang
di dunia ini…”
Bogor, 20 September
2012
“Disela menunggu rumah,
di hari liburku, serta di hari Pilkada DKI Jakarta yang sedang berlangsung…
Hadiah untuk istriku tercinta…”
No comments:
Post a Comment
Untuk kemajuan blog saya, harap tinggalkan komentar, kritik, masukkan, dan yang lainnya untuk saya. Sesudah dan sebelumnya saya ucapkan banyak-banyak terimakasih.