Thursday 11 December 2014

Awal (Sebuah Janji)



“Hei…” suara itu membangunkan tidurku, “Apa di sana ada dirimu?” tanya suara itu dengan lantang. Aku usap-usap mataku dengan cepat, aku sangat bersemangat mendengar suaranya, “Kau yang kemarin itu?” tanyaku balik kepadanya, “Iya, aku yang kemarin! Kemarin kita bertemu dan tertawa bersama!” serunya sangat riang.
Aku sungguh senang bisa bertemu dengannya lagi, “Sudah berapa lama kau tidur disana?” tanyanya lagi, aku menggelengkan kepala, “Entah, kawan!” jawabku cepat, aku benar-benar bersemangat, “Rasanya semalam kemarin aku tidur, mungkin seharian kemarin aku tertidur…” aku menggerak-gerakkan kakiku, “Dan kau tahu ini hari apa?” aku menunggu jawabannya, namun ia tidak terdengar untuk beberapa lama, mungkin beberapa menit, “Hei, kau masih disana?” aku masih menunggunya, namun belum ada jawaban.

“Kau…” akhirnya ia merespon pertanyaanku, “Kau akan segera meninggalkan area ini, bukan?” aku mendengar suaranya dengan nada bersedih, “Apa maksud dengan kesedihanmu itu? Bukankah kau seharusnya senang melihatku yang akan segera keluar dari tempat ini, menuju tempat yang lebih baik?” aneh, biasanya dia sangat bersamangat dengan semua percakapanku dengannya.
Keheningan terasa, sampai aku harus menggerakkan kaki dan akhirnya terdengar suaranya lagi, “Entahlah, kawan…” katanya dengan nada lemah, “Aku benar-benar tidak tahu keadaan di luar, aku sungguh-sungguh buta akan hal itu!” aku merasakan kalau kesedihannya sangat dalam, “Aku tidak tahu kenapa tidak bersemangat hari ini, mungkin setelah aku sadari kalau kita pasti akan berpisah, kawan.” katanya lagi dengan suara parau dan hampir menangis, “Aku takut!” akhirnya ia benar-benar menangis.
“Apa yang kau takutkan?”
“Banyak, kawan!” jawabnya dengan cepat, aku dapat merasakan emosinya meluap-luap, “Sinar matahari yang menyakitkan, orang tua yang tak jelas asal usulnya, dan… dan…”, “APA?” potongku, “Dan dosa, kawan!” aku mendengar itu, aku tahu arti kata itu. Akupun terdiam, tapi akhirnya aku menemukan jawaban untuk hal tersebut, “Bukankah kita akan mendapatkan ganjaran yang setimpal dengan apa yang kita lakukan nanti?”
“Apa maksudmu?”
“Surga, kawan!”
“Dan juga neraka!”
Aku menggelengkan kepala, “Neraka hanya untuk para orang zholim, kawan!” hardikku terdengar keputusasaannya, “Neraka hanya bagi mereka yang melakukan kejahatan, seperti merampok, para korupsi, pembunuh, pembuang anak-anaknya, si penghumbar janji, dan…”, “Dan orang sholih yang mengharapkan imbalan atas apa yang dia katakan dan lakukan!” potongnya cepat, aku tersentak mendengar itu, “Hah?” hanya kata itu yang sanggup keluar dari pikiranku yang bingung, “Seperti seorang kiayi atau ustadz yang menargetkan tarif dakwahnya, atau seorang yang telah berangkat ke Tanah Suci Makkah dan berharap orang lain memanggilnya dengan sebutan Pak Haji atau Ibu Hajjah, mungkin alim ulama yang mengajarkan kekerasan pada pengikutnya sehingga mereka menjadi radikal dan mengarah pada tindakan anarkis.” jantungku serasa berhenti mendengarnya.
“Yang benar saja?!” kataku menyangkal semuanya, “Mana ada manusia yang seperti itu di dunia ini?” teriakku, “Banyak, kawan!” katanya langsung, “Aku mendengarnya langsung...”
“Apa yang mereka katakan lagi?”
“Mereka menceritakan banyak hal. Diataranya hal yang tadi aku sebutkan tadi!” jawabnya, “Apa ada yang lain, yang kau dengar tentunya?” aku tahu ia menganggukkan kepalanya, “Ada, kawan…” katanya, “Mereka menceritakan banyak pengetahuan palsu yang telah tersebar, tentang jagat raya ini, alam semesta yang menepiskan keberadaan campur tangan Tuhan didalamnya, penciptaan manusia baru tanpa Tuhan pula didalamnya, lahir anak tanpa jelas ayahnya, sampai pada fitnah besar yang akan menghantam umat manusia dan menimbulkan perang besar!”
“Kau percaya semua itu?”
“Entahlah…”
“Kau sadar atas kepercayaanmu itu?”
“Yang aku tahu, akan banyak lahir pemimpin yang bangga akan kepemimpinannya, berjanji di bawah kitab suci dengan sebuah perkataan yang kuat, seakan dirinya mampu melakukannya. Pemimpin yang mengangkat derajat kalangannya sendiri tanpa memikirkan rakyatnya. Pemimpin yang tegas terhadap rakyatnya dengan hukum-hukum dan aturan yang mencekik untuk rakyatnya namun menimbun harta sebanyak-banyaknya untuk diri dan keluarganya sendiri. Dan pemimpin yang hanya mau mendengarkan tanpa mau bersusah payah melaksanakan apa yang diamanahkan dari pendengarannya itu, dan dari semua mereka itu mau dipilih lagi untuk kesekian kalinya diwaktu yang akan datang.”
“Kau gila, mana ada orang sejahat itu?”
“Sangat banyak, kawan!” katanya hampir berteriak. Keheningan terasa lagi, kali ini aku merinding, aku merasakan hawa dingin menyeruak kedalam duniaku saat ini.
“Kawan…” katanya lagi, “Apa yang kau harapkan setelah kamu keluar dari tempat ini?Apa yang kau janjikan kepada Tuhanmu untuk kehidupanmu kedepannya?”
Aku mengangkat bahu, aku bingung memilih yang mana, semua yang dia katakan menjadikan dunia menjadi abstrak dan tak menentu, bahkan didetik-detik aku ingin melangkah ke tingkat yang lebih jauh, “Aku…” jawabku perlahan, “Aku tidak ingin menjadi Haji yang hanya memiliki label didepannya namun culas dibelakangnya, aku tidak ingin jadi pemimpin yang mengekor pada harta dan jabatan, aku juga tidak ingin menjadi khalifah yang hanya manis di mulut namun pahit di perbuatannya, aku tidak ingin menargetkan hidupku dengan harta dan harus dipilih atau tidak. Aku juga tidak mau anak-anakku nanti memakan dan meminum sesuatu dari harta yang haram atau tidak jelas asal-usulnya, aku tidak mau istriku menjadi pemain handal dalam kemaksiatan, aku tidak mau pula anak-anakku mengikuti ajaran sesat dan kekerasan, aku ingin menanamkan di diri mereka arti kebersamaan, arti konsistensi beragama namun tolerensi tinggi dalam hidup seperti nabi mereka yang tidak pernah membalas walau hujatan dan cacian menerpanya. Aku ingin menjadi khalifah yang menyebarkan tonggak-tonggak agama tanpa memasang tarif dan ikhlas dalam menyampaikannya. Aku…” aku terdiam sejenak, “Aku ingin meninggal bukan membawa harta, warisan berupa uang bermilyar-milyar atau jabatan yang tinggi! Aku hanya ingin meninggalkan dunia ini dengan ditemani kain kaffan, beberapa lembar kayu, dan sebidang tanah kecil sepanjang tubuhku, serta warisan agama untuk anak-anak dan istriku! Aku mau tersenyum saat orang lain menangisi kepergianku nanti…”
Aku mendengarnya menghela napas panjang.
“Aku beriman atas nama Tuhanku dan akan mengikuti ajaran nabiku terdahulu!” aku merasakan sebuah dorongan dan tarikan sekaligus, “Selamat menempuh perjalanan baru, kawan…” katanya dengan suara yang terdengar mengecil, “Ingatlah terus akan janjimu itu…” katanya lagi, “Dan kita akan bertemu lagi di surga-Nya kelak.”
Aku menangis sejadi-jadinya, saat orang lain membalikkan badanku,  aku lihat dengan pandangan buram cahaya masuk ke mataku, menyeruak bebas tanpa batas dalam sebuah ruangan serba putih, “Waaaahhh…” suara seorang laki-laki di hadapanku terdengar sangat riang, “Selamat Bapak… selamat Ibu… anak Anda lahir sempurna dan sehat…” suara laki-laki itu lagi, aku diletakkan di dada seorang wanita berpeluh banyak dengan aroma khas dari keringatnya tersebut, “Boleh diadzankan sekarang, Dok?” kata laki-laki lainnya, “Silahkan, Bapak…”
Selanjutnya aku mendengar lantunan syair yang merdu dari suara parau seorang pria yang mengalirkan deras air matanya, “Allahuakbar… Allahuakbar…” katanya, “Allahuakbar… Allahuakbar…” aku tidak lagi menangis aku tersenyum, suara adzan tersebut sangat lembut ditelingaku, sampai di syairnya yang terakhir.
Wanita yang tadi menggendongku mencium keningku, “Selamat datang, sayang…” kata mereka berdua menangis terharu, “Selamat datang di dunia ini…”


Bogor, 20 September 2012
“Disela menunggu rumah, di hari liburku, serta di hari Pilkada DKI Jakarta yang sedang berlangsung… Hadiah untuk istriku tercinta…”

No comments:

Post a Comment

Untuk kemajuan blog saya, harap tinggalkan komentar, kritik, masukkan, dan yang lainnya untuk saya. Sesudah dan sebelumnya saya ucapkan banyak-banyak terimakasih.