Tubuh ini beberapa kali bergoyang kecil
mengikuti alur gerak kererta yang aku tumpangi, seakan membawa asaku yang tadi
sempat terbata-bata saat melangkah maju memasuki rangkaian kereta, kini seakan
menari menembus angin dan berkata, "Abaikan..." serunya, "Dunia
ini tetap memihakmu, bumi ini tetap akan menuliskan kisahmu, kawan! Hentikan
galaunya, itu terlalu bodoh untuk diteruskan!"
Ketika sudah melewati stasiun Cirebon,
aku melihat sepasang mata memperhatikan gerak-gerikku, ia ternyata menoleh beberapa
kali ke arahku, aku memergokinya dari pantulan di kaca kereta walau tidak
begitu jelas. Namun selewatnya stasiun Cirebon tadi, orang tersebut semakin
sering melirik ke arahku. Jelas, aku tidak berpikiran hal buruk, tapi rasanya,
"Hai!" sapaan itu memotong pengamatanku. Orang yang memperhatikanku
sejak tadi itu berani menyapa. Dia seorang perempuan berambut panjang dengan
pipi sedikit berisi dan pipi pucat, mungkin karena hawa dingin dari AC kereta.
perempuan terswbut duduk di seberang samping kiri kursi, jarak antar kami
dipisahkan oleh sebarus karpet biru bermotif garis-garis kecil warna-warni cerah.
Aku agak gugup ditegurnya, akupun menoleh
ke arahnya, rersenyum lalu menganggukkan kepala. Aku melihatnya tersenyum,
"Apa saya membuat perjalanan Mas terganggu?" aku mengerutkan kening
mendengar itu, sebenarnya ini hanya aktingku saja, ia pasti tau aku selalu
melihatnya saat ia seperti sedang menatap dan memperhatikanku, "Aah...
m... maksud sa... m... maksud saya... m... maaf kalau beberapa kali sa... saya
seperti memperhatikan mm... memperhatikan Mas!" nah, kali ia gelagapan
menjelaskannya.
Entah kenapa otakku bekerja cepat saat
ini, seperti memproses memori dengan lompatan jauh. Dalam waktu sepersekian detik,
aku berhasil merangkumkan sejumlah pemikiran dari awal melangkah, arah
tujuanku, sampai maksudku mendatangi tempat yang akan aku datangi nanti. Bahkan
aku berpikir agak nakal saat ini, "Mbak memperhatikan saya?" benarkan?
Tak apalah sedikit kok nakalnya, "Memang ada sesuatu di wajah saya?"
ups, berani bertaruh apa reaksinya? Belum lagi gaya tengilku yang seperti
memajukkan wajahku hampir menyeberangi karpet biru dan tangan menyilang di
dada.
Gadis itu tampak tambah kikuk,
"Mmm... maaf ss... ss... sekali lagi... Mas..." ia masih dengan
gugupnya.
Aku mengangkat alis, seperti memprovikasi
dirinya untuk lebih jaih berbicara, seakan aku berkata "Ayolah, kita sudah
di dalam kereta yang sama beberapa jam dari Jakarta, beberapa kali juga elo
kepergok ngeliatin gue! Ungkapin dong apa mau elo, girl..." shit! Ini
kelewatan sih!
"Ah... apa ya..."
"Kata orang sih, kalau ada lawan
orang lain yang memperhatikan kita, terutama wajah, jika bukan karena ada sesuatu
di wajah kita, maka..." ha ha ha ha... tik tok... parah banget nih otak!
"Hah? Eh tunggu, kayaknya Mas salah
paham deh!" seketika gugupnya hilang, apa aku salah memulai dialog ya?
Harus diperbaiki nih!
"Saya belum selesai, kok sudah langsung
dibilang salah paham!" dor! Ampun nih otak, "Maksud saya kalau tidak
ada sesuatu di wajah kita, kemungkinan pakaian yang kita pakai aneh!"
sumpah, ini gak lucu!
Aku melihat alisnya terangkat. "Wa
ha ha ha..." tawanya pecah, ini serius kan? Perasaan pembelaanku tadi agak
aneh deh. Ia menggelengkan kepalanya sampai air matanya keluar, "Oke...
ini benar-benar kacau!" katanya, "Dan tadi itu aku yakin bukan kamu
banget!" kata panggilan dalam dialog gadis itu berubah, ekspresikupun
seketika sulit ditebak. Baru saja mulutku terbuka dan ingin mengatakan sesuatu,
ia tiba-tiba menyodorkan tangan kanannya, "Apa Kabar, Alvin?"
Dia tahu namaku?
Sekejap pemikiranku berputar, kepalaku
ditampar beberapa pemikiran dan kembali terpikirkan tujuanku saat ini.
Gadis itu bangkit dari duduknya dan
segera duduk di sampingku.
Deg... aroma ini!
Jantungku serasa berhenti memompa.
Aroma ink tidak asing buatku!
Sebenarnya selama ini kepakaan sangat
terlatih dalam hal-hal unik, seperti aroma, suara, dan tempat. Terlatih dalam
artian menggedorku dengan cepat dan terjebak dalam sebuah kenangan masa lalu.
Ini diluar dugaanku, aroma parfum ini.... tidak salah lagi, percampuran dua
parfum, yang pertama ringan dengan sedikit aroma lavender dan parfum kedua
dengan paduan bunga mawar berbalut botol kaca. Aku pernah mencium aroma ini,
dulu sekali. Tapi, itu tidak mungkin.
"Kamu lupa?" katanya,
"Bukannya kamu cukup peka dengan aroma, seiingatku parfum yang aku pakai
tidak pernah berganti selera!"
Prang!... suara itu seakan mengusik otakku,
"Apa itu?" itu suaraku, tapi bukan saat ini. Sial, itu suara dari
masa laluku.
Aku seperti berada di sebuah rumah
berukuran kecil, aku baru saja keluar dari kamar mandi saat suara itu terdengar,
"Alfin..." aku melihat gadis itu, gadis yang saat ini ada bersamaku
di dalam rangkaian kereta, "Aku memecahkan botol parfumku, isinya masih
banyak!" aku berlari kecil menghampirinya, merebut tangannya dan mengamati
apa ada luka atau goresan akibat dari botol kaca pecah tersebut, lalu aku
beralih ke kaki, karena pecahan itu jatuh tak jauh dari tempatnya berpijak, "Kamu
tidak apa-apa, sayang? Apa ada yang luka kena belingnya?" tanyaku khawatir
ketika itu.
Ia menggelengkan kepala, saat itulah
menywruak aroma parfum yang khas dari botol kaca yang pecah, "Oh ternyata
parfum ini yang kamu pakai." ia mengangguk kepala, bola matanya memerah
saat itu. Aku mengambil bagian sisa botol yang terbesar, ada tulisan disana,
"Rose Purple?" aku membaca dengan nada bertanya. Ia meberjongkok, dan
kini tingginya sama dengan posisiku saat itu, "Aku memesannya khusus,
katanya ini campuran aroma terapu dari bunga lavender dan sari mawar yang lembut.
Si Mbak penjualnya bisa banget ngerayunya, jadi aku beli deh, Dan sudah dua
tahun ini aku pakai itu! Aku senang melihat ekspresimu saat mengatakan tubuhku
wangi, bahkan pertama kali kita bertemu tahun lalu, kau mengatakan hal itu.
Tadinya aku mau ganti karena sudah setahunan tak ganti aroma, buat variasi, eh
ternyata kamu suka. Jadi aku memesannya lagi, khusus untuk kamu!" ia mengatakan
itu sambil menatap ke langit-langit, seakan membayangkan pertemuan pertama
kita.
"Dimana tempat kamu
membelinya?" tanyaku cepat, "Dulu aku membelinya di Bandung saat liburan
kesana, karena waktu itu aku suka banget sama wanginya, jadi aku tanya apa bisa
memesannya secara online, karena lokasinya lumayan jauh dan aku minta dikirim ke
Jakarta jika aku kehabisan parfumnya. Ternyata si Mbak penjualannya bilang bisa."
ia menjelaskan terperinci, saat itu aku sadar ada bekas kemerahan di lehernya,
kulitnya seperti bereaksi terhadap suatu zat, itu seperti permukaan kulit yang
kepanasan.
Ia sadar aku melihat itu, lalu ia
tersenyum, "Sebenarnya bekas merah di leher akibat dari parfum itu, salah
satunya lagi alasanaku mau berhenti tahun lalu karena parfum ini cukup kuat,
dan kulitku memerah setiap terkena parfumnya."
"Loh, kenapa tidak kamu hentikan pemakaiannya?"
tanyaku lagi.
Ia tertunduk, "Karena kamu suka
aroma ini, jadi aku memesannya lagi untuk aku pakai, supaya kamu bisa mencium
terus wanginya." hatiku sepertism berbunga-bunga saat itu, "Apa kamu
mau aku yang belikan lagi? Kebetulan lusa keluargaku mau ke Bandung dan aku
harus ikut karena ada pertemuan keluarga membahas pernikah tanteku, mungkin aku
bisa membelikannya untukmu nan..."
"Tidak perlu..." potongnya,
"Biar aku nitip ke Fadhli saja!"
Gadis itu menepuk bahuku, saat itu pula
lamunanku berakhir.
"Kenapa jadi bengong?" tanyanya
sambil tersenyum, aku kembali ke dalam rangkaian kereta yang bergoyang,
"Ah... maaf, aku ngelamun tadi, kamu Emma kan?" tanyaku balik.
Ia tersenyum tambah lebar, "Nah kan
kamu ingat!"
Aku mengangguk, kejadian dalam lamunanku
itu sudah berlalu hampir dua tahun yang lalu.
"Aku kaget waktu itu, padalah gak
lama setelah kamu mengetahui aroma parfum ini, beberaoa hari kemudian kamu
kontak aku dan mengatakan kalau sebaiknya kita gak melanjutkan hubungan kita."
ia mengingatkanku, "Padahal saat kamu sedikit masuk ke dalam kisahku setahun
sebelumnya, kamu mengatakan kalau aku sama Fadhil biarkan saja berjalan, tapi
jodohkan tidak ada yang tahu, aejak saat itu kamu..."
"Ngomong-ngomong kamu mau kemana?"
aku memotongnya, rasanya tak pantas itu diungkit lagi. Lagi pula tujuanku untuk
ke tempat baru memang ingin membuka lembaran baru.
Ia tidak menjawab, lalu menundukkan
kepalanya. Memang agak menyakitkan mungkin, tapi mungkin keegoisanku akan
benar-benar menutup semuanya suatu saat nanti.
"Aku mau ke Sleman. Ingin menemui
Fadhil yang saat ini bertugas di sana..."
Deg... dua kali tamparan keras untuk
jantungku...
Aku coba bersikap biasa, "Ah, iya! Satu
setengah tahun yang lalu aku dengar kamu menikah dengan Fadhil! Selamat ya, dan
sekalian mohon maaf aku gak bisa datang, karena waktu itu aku ada tugas di..."
"Cirebon..." potongnya,
"Aku ingat, Ibumu yang mengatakannya saat aku mengantar undangan
pernikahanku sama Fadhil waktu itu." ia terdiam sejenak, lalu kembali
mengeluarkan suara, "Apa kamu benar-benar melu...", "Jadi sudah
satu tengah tahun ya? Sudah berapa anakmu sekarang?"
Saat itulah kereta yang aku tumpangi berhenti,
entah di stasiun apa, karena pikiranku saat ini bukan disana. Entah bagaimana
aku menyebutnya, saat aku ingin pergi meninggalkan Jakarta karena kematian
kekasihku, lalu kenapa masa lalu ini justru tiba-tiba menghampiriku. Ada apa
dengan kisah hidupku ini?
Suasana masih hening sampai Emma bangkit
dari duduknya, "Aku rasa pertemuan tidak sengaja ini malah membuatmu
terluka. Dan maaf, mungkin saat ini kamu sedang dekat dekat dengan seseorang
atau sudah menikah, karena aku tidak mendengar kabar darimu sejak terakhir kamu
oergi ke Bandung waktu itu, sampai aku mengantarkan sendiri undangan
pernikahanku, aku benar-benar belum bisa menemuiku, pria yang tulus mengatakan
menyukai aroma parfum ditubuhku setiap kali bertemu." ia berjalan menuji
kursinya, namun tidak duduk kembali, hanya mengambil barang bawaannya dan
kembali ke arahku.
"Aku sepertinya lebih baik berganti
kereta, aku tidak mau mengusik masa kinimu dengan seuatu memori kenangan masa
lalumu. Aku sebenarnya tahu kenapa kau pergi saat itu, padahal kita berdua
berjanji tidak mengungkit soal Fadhil saat sedang bersamamu, aku malah
keceplosan ingin Fadhil yang beli parfum yang kamu suka. Aku egois saat itu,
aku tidak melepaskan kalian berdua! Maafkan aku, aku pamit!" ia berjalan dua
langkah meninggalkan kursiku.
Mulutku tertutup rapat saat ini, entah
aku harus berkata, ke berangkat sendiri ke Sleman untuk menemui suaminya dan
dimana saat aku terpuruk dengan kepergian kekasihku yang Emma ketahui kisahnya
sama sekali. Kalau dia tahu aku saat ini sendiri, mungkin....
Ah! Aku tidak mau merusak rumah tangga
mereka. Pengalihan pembicaraanku tadi dan menutupnya mulutku mengenai kekasihku,
mungkjn adalah hal terbaik untuk kami berdua.
Tapi, dua langkah itu belum bertambah ke
langkah berikut, ia kembali menoleh kepadaku dan mengatakan sesuatu,
"Untuk.kamu ketahui terakhir kalinya. Aku ke Sleman untuk menemui Fadhil
bukan karena tanggung jawabku sebagai istrinya, melainkan karena Fadhil melayangkan
gugatan cerai kepadaku!" aku mengerutkan kening mendengar hal mengejutkan
itu, "Alasan dia menggugat aku cerai, karena selama kami menikah, satu
setengah tahun, aku tidak mau disentuh olehnya. Ada titin trauma dimana sesaat
setelah pernikahan dan bersiap untuk malam pertama, ketika pertama kali Fadhil
mengusap keningku, bayangan wajahmu masuk kedalam pikiranku! Aku menangis
sejadi-jadinya malam itu, aku tidak ceritakan hal ini kepadanya, dia katakan
akan selalu menunggumu sampai kapanpun, sampai suatu saat mungkin aku bersedia disentuh
olehnya dan mengambil penuh tanggung jawabku sebagai istrinya.
"Dan puncaknya adalah seminggu yang
lalu. Kami bertengkar hebat karena mungkkn titik kesabarannya sudah terlewati. Ia
pergi ke rumah orang tuanya di Sleman, dan karena ketika kami menikah di
Sleman, ditempat orang tua Fadhil, maka Fadhil melayangkan gugatan cerainya di
pengadilan Sleman. Aku mau datang menemuinya untuk menghadiri sidang perceraian
pertama kami besok pagi.
"Itu saja yang perlu kamu ketahui tentang
aku. Kamu tidak perlu bercerita tentang kekasihmu, aku tahu kamu adalah orang
yang samgat mencintai kekasihmu saat kamu mendapatkannya, beberapa pengalihanmu
tadi menyadarkan aku kalau pertemuan kita kali ini adalah takdir namun di waktu
yang tidak tepat." setelah berkata demikian, ia kembali membalikka badan lalu benar-benar pergi turun dari
kereta tepat sebelum kendaraan panjang ini bergerak maju.
Tubuhku tidak bisa bergerak sama sekali.
Aku milihat senyumannya kepadaku dari balik jendela saat kereta bergerak
perlahan meninggalkan stasiun.
Taman Sari - Sukaresmi (Kab. Bogor)
19 November 2019, 02:04 WIB
No comments:
Post a Comment
Untuk kemajuan blog saya, harap tinggalkan komentar, kritik, masukkan, dan yang lainnya untuk saya. Sesudah dan sebelumnya saya ucapkan banyak-banyak terimakasih.