Wednesday 29 May 2019

Selembar Kebingungan


Ini bukanlah hari pertamaku memasuki ruko berukuran sedang di bilangan Jakarta Pusat ini. Namun entah mengapa ada sedikit kecanggungan pada diriku saat ini, bukan terhadap kantor ini, atasanku, atau teman-teman sejawatku di kantor ini. Hanya saja ada sedikit keganjilan saat aku tengah berada di dalam commuter line.

Seperti hari-hari sebelumnya, aku mengendarai sepeda motor dari rumahku menuju stasiun Bojong Gede lalu melanjutkan menggunakan kereta rel listrik atau KRL menuju stasiun terdekat dengan tempatku bekerja. Aku turun di stasiun Tebet, lalu sambung angkutan umum kembali di depan stasiun menuju City Walk Sudirman, disekitar mall besar itu kantorku berada, tak jauh dari jalan Jendral Sudirman, Jakarta Pusat. Dan lagi-lagi aku tegaskan, menaiki KRL bukan kali pertamanya untukku menuju kantor ini, sudah hampir tiga tahun aku pulang pergi mengenakan commuter line ini, dan selama itu pula tidak ada satu orangpun yang aku kenal dengan baik di dalam KRL, tidak satupun.
Hanya wajar saja aku pikir jika aku tersenyum pada satu atau dua orang saat berpapasan, atau sekiranya wajah mereka familiar, atau mungkin sekedar permisi, mempersilahkan duduk, membiarkan mereka lewat dan juga saat tidak sengaja menabrak tubuh penumpang lain. Itu hal yang sangat lumrahkan? Apa lagi jika masuk jam berangkat kantor dan pulang kantor, penuhnya bukan main.
Disinilah yang sekiranya aku bilang aneh atau agak sulit dijelaskan, percayalah, ini benar-benar tidak masuk akal menurutku. Aku masih memegang kertas ini. Oh, baiklah akan aku perinci dari KRL tadi!
Begini, seperti yang tadi aku katakana sebelumnya, kalau KRL adalah menjadi sarana pilihanku untuk berangkat kerja atau ke kantor, dan ini bukan pertama kali aku menaikinya, beberapa kali, hampir tiga tahun lamanya aku pulang pergi, namun pagi ini berbeda. Saat aku memasuki rangkaian KRL, entah gerbong keberapa, dari stasiun Bojong Gede, saat itu suasanya belum padat. Dengan santai akupun dan beberapa penumpang lain memasuki rangkaian KRL sebelum pintu kereta tertutup kembali.
Aku mengambil salah satu sisi di sebelah kanan pintu KRL, di depanku duduk seorang wanita bercadar yang tengah asyik membaca Al-Qur’an, di sebelah kanannya seorang Bapak-bapak yang tertidur dengan kepala terantuk dan dikirinya seorang Ibu muda yang memangku bayi mungil, mungkin baru beberapa bulan, karena kulitnya masih memerah dan belum begitu besar. Kereta jalan, aku tidak memperhatikan mereka dan mungkin mereka tidak memperhatikanku.
Sampai pada tiba di stasiun Depok, para penumpang KRL semakin membludak tak terkira, posisi kami, penumpang sebelumnya yang tadi enak berleha-leha dan berdiri tegap dengan dua kaki melebar, kini mulai dipres nyaris tanpa celah antara kiri dan kanan bahkan belakang dan depan. Tetapi karena depanku adalah kursi penumpang yang duduk, jadi ada sekit celah di bagian depan untuk aku bergerak sedikit mengurangi himpitan.
Kereta kembali berjalan menuju stasiun Depok Baru, pintu kembali dibuka, tidak ada yang turun, sayangnya yang naik bertambah. Aku dan penumpang lainnya semakin terdesak dan kitapun doyong ke berbagai arah mengikuti arah arus manusia. Karena pintu dalam satu rangkaian kereta ada beberapa, jadi serasa mendapat serangan dari berbagai arah.
Saat aku menahan badan agar tidak condong ke depan, khawatirnya aku malah jatuh menimpa orang yang duduk di hadapanku, mataku tak sengaja menatap wanita bercadar yang tadi sedang membaca Al-Qur’an. Aku mengerutkan kening, karena saat itu aku melihat wanita bercadar tadi sedang menatap ke arahku. Tanpa sadar, alisku terangkat keatas. Ketika itulah aku lihat mata wanita bercadar tadi terpejam dan aku merasa ia tersenyum kepadaku.
Tapi itu mungkin perasaanku saja, tidak mungkin ia tersenyum kepadaku begitu saja. Toh ini aku bukan sedang melawak, ini beneran…
Waaa…
Goyangan gerbong kereta semakin parah ketika memasuki stasiun Lenteng Agung, karena posisi rel yang berkelok dan agak miring, akupun segera menahan dengan tanganku tepat di atas kepala wanita bercadar itu. Entah berapa menit itu terjadi, kereta berhenti, penumpang lain masuk, tidak ada yang turun, dan aku semakin terdorong kedepan. Jaraknya hanya beberapa meter saja dari wanita tersebut. Dan lagi, aku merasa ia melakukannya lagi, matanya kembali terpejam dan seperti sedang tersenyum kepadaku.
Dorongan semakin terasa, ada beberapa penumpang yang mengumpat dan mengerutu kesal, berupaya mendorong badan mereka ke arah berlawan, aku tahu itu sia-sia.
Terdorong lagi, dan aku rasa saat itu tubuhku benar-benar sudah tidak kuat, terpaksa aku melekukkan tanganku dan menahan dorongan itu dengan menopang badan dengan lenganku, dari telapak sampai ujung siku. Uuuh… rasanya tersiksa bukan main. Aku benar-benar khwatir tubuhku akan menimpa wanita bercadar itu, jaraknya semakin dekat, “Maaf ya, Mbak…” kataku lirih, takutnya ia merasa risih. Aku pikir dia tidak mendengar suaraku karena saat itu riuh sekali, bising. Namun diluar dugaan, sambil kembali tersenyum, ia membuka telapak tangannya kedepan, tepat beberapa senti hampir menyentuh dadaku, tapi tidak sampai bersentuhan. Lalu jari telunjuknya dan ibu jarinya ia lingkarkan masing-masing, seperti mengisyaratkan bukan masalah besar.
Aku tersenyum kali ini.
Kereta kembali bergerak, aku dan beberapa penumpang yang tadi terdesak bisa kembali sedikit mendorong himpitan dan desakan tadi sehingga kami kembali berdiri tegak.
Aku menarik napas panjang-panjang lalu menghempaskannya. Keringat mulai mengucur deras di tubuhku dan membasahi kemeja yang aku kenakan. Aku sapu rambutku yang mulai agak panjang kebelakang, sidikit memberikan ruang ke pipi dan leherku agar terkena udara, karena AC di kereta ini sudah mulai tidak terasa karena banyaknya penumpang. Aku kembali menghempaskan napas lagi mencari udara segar di tengah menumpuknya penumpang kereta pagi itu.
Aku melihat Bapak-bapak yang tadi tertidur di kursi, sudah bangun dan memberikan tempat duduknya ke orang yang ada didepannya, pilihannya jatuh ke Ibu-ibu paruh baya yang mengenakan kebaya putih lusuh karena desak-desakkan tadi. Dan ternyata yang tadi membawa bayi juga sudah tidak ada dikursinya, entah dia dan anaknya turun dimana. Aku memang tidak terlalu memikirkan para penumpang lain.
“Mas…” aku mendengar seseorang memanggil, ternyata wanita bercadar tadi. Aku baru memperhatikan busana yang ia kenakan. Wanita tersebut mengenakan gamis berwarna biru pucat dengan kerudung juga berwarna biru namun alur warnanya sedikir lebih tua. Tidak ada bordiran atau hiasan apapun di baju dan kerudung yang ia kenakan. Sedangkan cadarnya berwarna sama dengan gamisnya. Cadar yang ia kenakan sepanjang dadanya, lebih pendek dari panjang kerudungnya yang menutupi sampai perut, “Mas…” ia menaggil lagi, aku masih ragu kalau yang ia panggil itu diriku, “M… sa… saya?” tanyaku gugup, ia mengangguk, “Mau gentian dudukya? Karena saya sebentar lagi turun di Pasar Minggu.” katanya, “Ah, tidak…”, “Duduklah!” ia segera bangun sambil memotong perkataanku, aku mengerutkan kening entah kenapa aku menurut saja, duduk di kursi yang ia berikan.
Aku merasakan ia tersenyum lagi.
Kereta berhenti, bukan di stasiun, tapi tertahan signal masuk stasiun Pasar Minggu.
Setelah memastikan dudukku sudah nyaman, wanita tadi mengeluarkan sebuah buku nota kecil dan pulpen berwana ungu dari tasnya, lalu seperti menuliskan sesuatu dibuku tersebut. Tak lama kereta mulai bergerak. Aku melihat ia merobek kertas yang tadi ia tulis, dan memberikannya kepadaku, “Aku turun ya, Mas…” katanya, “Hati-hati nanti turun di stasiun Tebet, jangan terburu-buru!” pintanya lalu berlalu mencari jalan untuk ke pintu keluar karena mau turun di stasiun berikutnya.
Keningku berkerut.
Aku berani sumpah, kagetnya bukan main, dia tahu dimana aku mau turun, dan tadi itu dia memberikanku perhatian bukan? Iya kan? Dan ini kertas apa?
Aku mengamati kertas yang tadi ia berikan, dan ternyata ada tulisan tertera disana, “Afwan…” kata pembukanya, “Nama saya Aisyah, sekali lagi hati-hati turun keretanya nanti di Tebet, dan maaf kalau perkenalannya mendadak…” lanjut tulisannya, “Langsung saja…” aku masih membacanya, tulisannya tampak agak berantakan karena tadi terburu-buru, “Mas mau jadi suami Aisyah? Kalau mau hubungi ke nomor telepon di bawah. Aisyah tunggu jawabannya…”
Deg…
Jantungku serasa berhenti berdetak, ini bukan main-main, surat ini…
Aduuuh… aku gak bias focus kalau gini!
Siapa wanita itu? Dari mana ia tahu aku turun di Tebet? Apa dia sudah memperhatikanku beberapa lama ini? Dan surat ini…. Arrrgggghhh…. Pusing aku!
Kereta berjalan melewati stasiun Tebet.
Eh, aku kelewatan!
Aku bergegas bangun dan turun distasiun berikutnya, Manggarai, untuk kembali ke stasiun Tebet, kacau deh hari ini!

***

Akhirnya aku memutuskan pulang lebih awal sore ini, dengan alasan kurang enak badan ke atasanku. Disepanjang perjalan menuju stasiun, aku menimbang berkali-kali apa yang harus aku lakukan, bisa saja aku hempaskan semua yang terjadi tadi pagi, tapi orang tua dulu mengatakan kalau kesempatan itu tidak dating dua kali. Apa mungkin aku harus menghubungi nomor yang tertera di kertas itu? Atau aku buang saja ke tempat sampah?
Perjalanan dengan angkutan umum siang itu serasa sangat panjang, pikirankupun melayang jauh, mempikan harapan, resiko, bahkan buruknya, aku sempat berpikir bahwa ini sebuah penipuan dan aku adalah mangsa yang siap diterkam kapan saja ketika aku menghubunginya.
Sungguh naïf raasanya, sebagai seorang pria aku mengabaikan hal-hal kecil yang berdampak kepada masa depanku, apa lagi ini menurutku bukan masalah sepele yang bisa dihilangkan begitu saja dari pikiranku. Ya Allah, aku tidak tahu harus berbuat apa. Benar-benar kosong otak ini saat menyentuh sisi mengambil keputusan apa.
Sebenarnya ini hanya aku saja yang mengetahuinya, sampai saat ini ada satu orang yang masih mengisi hatiku. Bukan secara harfiah aku mengartikannya, fisiknya mungkin sudah tidak bisa aku raih, karena aku sudah kehilangan kontak sama sekali. Tapi dialah cinta pertamaku sejak SMA dulu, dulu sekali. Namanya Marwah, gadis berhijab putih saat itu yang sangat aku kagumi. Saat bergabung dengan organisasi kerohanian Islam (Rohis), aku sangat terpesona dengan sosok ini. Wajahnya syahdu, pipinya memerah dan hidungnya mancung bukan main. Aku dengar, ayah dan ibunya ada keturunan Arab, Timur Tengah. Jangan membullyku dulu, kawan!
Aku serius saat tadi mengatakan aku dengar! Karena aku bukan seperti orang kebanyakan, anak-anak sekolah menengah yang langsung menyatakan perasaannya saat mereka sadar kalau mereka sedang jatuh cinta sama seorang gadis, atau mungkin sebaliknya, gadis itu yang menyatakan cintanya terlebih dahulu. Tidak, aku bukan seperti mereka! Bukan pula aku sok alim dengan mengatas namakan bukan muhrim, atau sok-sokan melankolis dengan mengatakan itu zinah. Tidak! Aku tidak seperti itu, walau banyak pula yang aku nasihati demikian, terutama teman-teman akrabku.
Tapi untuk seorang Marwah, rasanya tidak cukup seribu satu alas an yang mampu membuatku berani mengungkapkan perasaanku. Ya, bagiku, secantik itulah Marwah. Bahkan sampai kelulusan, aku tidak mengatakan perasaanku kepadanya, sungguh, rasanya diriku sangat berbeda dengannya.
Setelah aku kuliah, aku dengar Marwah sudah menikah dengan pria keturunan Pakistan, bernama Ahmad Zubair Bin Malik. Seorang pengusaha minyak mentah di Pakistan sana. Entah benar atau tidak, tapi kabar itu bukan membuatku melepaskan perasaan ini dari hatiku, malah sebaliknya, semakin kuat karena ketakjubanku dengannya karena telah meluluhkan hati seorang saudagara kaya.
Tapi hari ini cukup sampai disini aku menceritakan soal Marwah. Dia hanya akan selalu dalam anganku saja. Kembali kerealita saat ini, dimana mataku terpaku pada sepasang suami istri yang sedang becanda dan tertawa bersama anaknya yang imut. Pria itu tampak jauh lebih mudaku, dan wanita cantik bukan main, beruntung sekali mereka, ditambah itu pasti anak dari hasil cinta kasih mereka. Aku kapan? Aaah… dapat surat saja sudah kikuk bukan main, keringat dingin, sampai akhirnya izin dari kantor. Apa aku seorang pengecut, ya?
Tanpa aku sadari, aku keluarkan ponsel dari sakuku dengan tangan kanan, dan tangan lainnya mengeluarkan selembar kertas yang jadi biang kerok masalah hari ini. Aku benar-benar tidak tahu kenapa aku melakukan ini. Mungkin kalau di film-film kartun, akan muncul sosok hati nurani baik dan jahat yang akan merayuku untuk mengambil keputusan apa. Tapi, tunggu dulu… memang jika aku mengambil keputusan akan banyak mudharatnya? Apa justru aku mendapatkan kebaikan? Rasanya tidak, kalaupun aku tidak menghubunginya, anggaplah aku sudah membuang kesempatan emas dalam hidupku, namun seperti yang selalu ulama-ulama nasihati untuk tidak membeli kucing dalam karung, kalau ternyata ini penipuan, aku justru malah beruntung kan?
Sekiranya aku menghubungi nomor ini, dan ternyata ini benar bahwa orang bernama Aisyah ini mau menjadikanku suaminya, aku akan mendapatkan pendamping hidup di dunia, atau justru akan membawa kebahagiaan untuk akhiratku, ratu dari bidadari-bidadariku kelak nanti. Masya Allah, nikmat apa lagi yang aku ingkari.
Cukup, menghubungi nomor ini lebih banyak kebaikannya, menurutku!
Akupun menekan tombok nomor di ponselku dan mulai menunggu melalui nada deringnya. Lama juga diangkatnya, sampai nada tunggu itu berakhir, tidak juga diangkat. Demi Allah, aku benar-benar penasaran apa yang akan terjadi dengan kehidupanku kedapannya. Akupun memilih memutar ulang nomor teleponnya, nada sambung kembali terdengar, dan lamanya itu terulang lagi. Namun baru saja nada deringnya berakhir, aku mendengar dari seberang menganggkat telepon dariku.
“Assalamu’alaikum…” terdengar suara sayu di sana, seorang wanita dengan nada lembut mengucapkan salam. Ya Allah, suara surgawi yang aku dengar, dalam sekejab, baying-bayang Marwah lenyap seketika.
“I… Ini… Aisyah?” aku spontan mengatakan itu, bahkan aku belum mengucapkan salam, “Eh… m… maaf… Wa’alaikum salam…” kataku gugup membalas salamnya.
Keheningan terasa, entah apa yang ia tunggu atau memang aku yang masih cupu menghadapi wanita. Dari suara salamnya, ini benar-benar wanita yang sama yang memberikan kertas itu tadi pagi.
“Afwan, akhi siapa ya?” akhirya ia membuka percakapan lagi, jantung ini serasa dag dig der, bukan main, aku tidak bisa menjelaskan, “Oh, ya… maaf saya belum memperkenalkan diri. Saya yang tadi pagi, Mbak berikan selembar kertas waktu mau turun di Pasar Minggu.” Sesaat setelah aku mengatakan itu, aku mendengar suara seperti hentakan sesuatu, “Aduh!” ada suara teriakan agak jauh dari microphone teleponnya, “Eh, afwan akhi…” kataya lagi, aku menunggu perkataannya selanjutnya, “Akhi Tebet ya…” ia menyebutkan tujuan dari perjalanan keretaku setiap pagi sebagai panggilanku, “Sebentar, ada yang mau bicara sama akhi!”
Aku mengerutkan kening, belum sempat aku mebalas perkataannya, ada suara riuh dari seberang sana, dan akhirnya pembicaraanpun dilanjutkan, “Assalamu’alaikum…” eh, ini suara kok berubah, ini suara laki-laki, lebih tepatnya seperti suara Bapak-bapak. Waduh, jangan-jangan suaminya, wah… jebakan ya ternyata.
“Halo, assalamu’alaikum! Apa Mas yang tadi nyari Aisyah, masih ada disana?” duh, aku bingung harus jawab apa. Ah, bodo amat lah, jawab saja, urusan lainnya belakangan, yang penting jujur bagaimana aku bisa mendapatkan nomor Aisyah jika ini benar suaminya dan meminta maaf sebelum, “Afwan, Mas… Bapak… Om…” aku benar-benar kikuk deh, “Sa… saya mendapatkan nomor ini dari…”
“Aisyah, kan?” potong pria tadi, wasalam sudah! Taman riwayatku! Benarkah ini suaminya?
“I… iya… Om… eh… Mas… eh Bapak!” syukurin aku kelagapan, sok-sokan berani hubungi sih tadi.
“Panggil saya Abi!”
Jantungku berhenti berdegup, Abi? Abi? Beneran Abi? Abi kan artinya…
“Saya ayah atau abi dari Aisyah! Perkenalkan, nama saya Harun. Dan kamu namanya siapa Nak Tebet?” lagi, tujuan keretaku dipanggil dengan sebutan nama. Tuh kan benar, abi itu artinya ayah atau bapak untuk orang tua, “Mmm… ia Om… eh… Bapak…”
“Abi cukup, Nak!”
“Oh ya, Abi… iya benar Abi, saya laki-laki di kereta yang turun di stasiun Tebet, karena kantor saya ada di daerah dekat jalan Jendral Sudirman.” aneh, langsung lancar lidahku yang tadi kelu, “Nama saya, Rizwan, Abi!”
“Ah… nama yang indah, Nak Rizwan.”
“Alhamdulillah, ibu saya yang memberikannya.”
“Baik, Nak Rizwan, kita tidak perlu berbasa-basi lagi. Ada hal yang ingin saya tanyakan, kenapa Nak Rizwan berani menghubungi nomor anak saya Aisyah?”
Deg…
“Apa yang jadi pertimbangan Nak Rizwan akhirnya menghubungi nomor ini? Tidak khawatir di celakai? Atau ini seperti prank atau penipuan atau mungkin zonk?”
Jawab apa ya?...
“Nak Rizwan masih disana?”
“I… iya Om… eh Abi, sa… saya…”
“Kenapa gugup lagi, relaks saja, saya tidak bermaksud memarahi Nak Rizwan! Hanya sebuah pertanyaan saja kok!” peria itu bedehem sekali, berwibawa sekali, “Mm… begini, Abi! Saya berani menghubungi nomor ini awalnya karena penasaran, apa benar yang tertera di surat singkat yang saya terima langsung dari Aisyah. Lalu saya…”
“Nak Rizwan yakin yang memberikan surat itu Aisya, anak saya?”
Apa? Ini pertanyaan tidak ada dalam bayangan aku, nih… Harus jawab apa ya?
“Apa sekarang Nak Rizwan menjadi ragu, setelah saya bertanya tadi?”
“Tidak, Abi!” aku harus menunjukkan kejantananku, ini resiko yang harus aku terima, jika wanita bernama Aisyah itu ternyata berbohong, ya itu sudah resiko. Bahkan jika terjadi hal yang sangat buruk, misalnya, ternyata Aisyah itu palsu atau ini sudah direncanakan sebelumnya. Aku harus ambil resiko itu, “Saya menghubungi nomor ini sesuai apa yang tertera di surat tersebut.”
“Wah…” Bapak diseberang sana sepertinya semakin bersemangat, “Memang apa yang tertulis disana?”
“Abi sudah tahu apa isinya kan?”
“Bagaimana Nak Rizwan bisa mengambil kesimpulan itu?”
“Ada pertimbangan, Abi…” jawabku, “Salah satunya saat Abi benar-benar langsung menerima panggilan ini beberapa detik setelah Aisyah memberitahukan kalau yang menelepon adalah saya, jika saya menghubungi nomor ini, artinya saya menyetujui atau sepemikiran dengan apa yang tertera di dalam surat ini, artinya juga, Abi sangat jelas tahu apa isi surat ini. Dan itu juga berarti, Aisyah sudah izin sebelumnya akan berkata apa yang seperti ia tulis kepada saya!”
“Cerdas, Nak… sangat cerdas!” katanya hampir berteriak karena senang, “Alhamdulillah, saya masih bisa berpikir saat diri saya terjepit sekalipun!” kataku meneggaskan, “Itu artinya kamu setuju dengan isi surat itu, Nak Rizwan?” tanya si Bapak lagi. Kali ini aku ingin berdiplomasi sedikit, aku tidak mau terdengar seperti pria hidung belang yang mengincar para wanita saja, “Sebenarnyam tujuan awal saya menghubungi nomor ini karena ingin tahu sosok Aisyah, atau anak Abi seperti apa. Saya sempat berpikir begini, saya turun di Tebet, sedangkan Aisyah turun keretanya di stasiun Pasar Minggu, selisih yang cukup jauh untuk mengetahui saya turun dimana, berarti Aisyah pernah mengikuti saya sampai turun di stasiun Tebet, minimal Aisyah sempat melihat saya turun di stasiun tersebut. Kedua saya ingin mengetahui Aisyah itu seperti apa, mengingat saya baru sadar keberadaan Aisyah tadi pagi, maksudnya saya, saya hanya berpikir wanita seperti apa Asiyah itu yang berani menuliskan surat kepada orang asing yang bahkan belum dia kenal sama sekali dan mengajaknya menikah.” aku menunggu tanggapan dari ayahnya Aisyah. Aku mendengarkan dengan seksama apa yang terjadi di seberang, tapi semua senyap, sangat sunyi. Apa ayahnya Aisyah sedang memikirkan sesuatu?
Aku masih menunggu beberapa menit.
“Nak Rizwan…” akhirnya suara laki-laki tersebut terdengar lagi, “Saya akan coba menjelaskan sedikit tentang yang terjadi sebenar. Saya terdiam karena sempat terkagum dengan pemikiran dan kelugasan Nak Rizwan tadi. Baik kalau begitu saya akan mulai dengan mengikuti cara Nak Rizwan mengungkapkan keraguan, isi hati dan unek-uneknya tadi. Pertama, isi surat itu perlu saya dan Aisyah tegaskan, bahwa surat tersebut isinya adalah seratus persen benar, bahwa Aisyah menginginkan calon suami, namun jangan berpikir kalau surat yang setipe akan mendarat di laki-laki lain. Kesimpulan untuk masalah ini, Aisyah, anak saya, memilih Nak Rizwan, dan surat itu benar-benar bermaksud menyampaikan kalau Aisyah ingin Nak Rizwan menjadi pendampingnya.” ia terdiam sejenak, entah harus berkata apa mendengar itu.
“Kedua, saya menentang cara dari Aisyah yang seperti. Selain rentan dengan bahaya, dan benar yang Nak Rizwan katakan, bahkan sampai saat ini saya masih menganggap Nak Rizwan orang asing. Cara yang Aisyah lakukan ini bisa di nilai sebagai keposesifan wanita kepada lawan jenisnya, yang saya khawatirkan, pria yang dimaksud oleh Aisyah justru menjadi ragu dan ternyata dugaan saya tepat, syukur Alhamdulillah, Nak Rizwan masih mempertimbangkan hal logis yang sangat kecil kemungkinannya.” kali ini pemikiran ayahnya Aisyah sama denganku, “Ketiga, ini agak ekstrem menurut saya lagi, Aisyah bisa tahu Nak Rizwan turun distasiun Tebet bukan suatu kebetulan atau karena tidak sengaja melihat Nak Rizwan turun disana, tapi Aisyah mengikuti Nak Rizwan, secara harfiah, turun di stasiun Tebet, tapi tidak sampai keluar stasiun, dia masih mempertimbangkan keamanannya. Aisyah bilang masih buta dengan daerah sana, jadi dia tidak mengikuti Nak Rizwan sampai ketujuan setelah turun di stasiun Tebet. Dan ia menceritakan, kalau melakukan itu tidak satu atau dua kali, namun beberapa kali. Saya sendiri kaget mendengarnya.” wah, ini benar-benar menakjubkan, segitu antusiasnya wanita bernama Aisyah kepadaku, “Tambahnya lagi, ia mengkuti Nak Rizwan tidak selalu berada di dekat Nak Rizwan melulu, kadang berada di beberapa baris tempat berdiri Nak Rizwan, atau di gerbong kereta lain, sekedar memastikan kalau Nak Rizwan turun di tempat yang sama. Untuk hal ini saya sempat memperingati Aisyah kalau itu benar-benar berbahaya. Jadi mungkin karena itu Nak Rizwan tidak begitu menyadari keberadaan anak saya.” aku sampai terbengong-bengong mendengar perkataannya ayahnya Aisyah.
“Saya benar-benar tidak menyangka akan mendengar ini langsung. Walau saya belum bertatap muka sama Abi, saya merasakan aura berbeda saat Abi menceritakan semuanya.” kataku ahirnya menanggapi penyataan panjang lebar dari ayahnya Aisyah.
“Tapi perlu Nak Rizwan ketahui…” lanjut si Bapak, “Selama anak saya mengikuti Nak Rizwan, tak satupun foto wajah atau sosok Nak Rizwan yang ia ambil. Aisyah sangat menghormati dan paham batasannya. Jadi sampai saat inipun saya masih belum tahu wajah Nak Rizwan seperti apa.”
“Kalau boleh saya tahu, kenapa anak Abi ingin saya menjadi suaminya?” aku benar-benar ingin tahu soal ini, tadi kan Abinya sendiri mengatakan kalau masih menganggapku orang asing.
“Sebenarnya ada dua alasan dia memilih Nak Rizwan.” ia terdiam sejenak, aku kembali deg-degan menunggunya, “Pertama Nak Rizwan sering sekali memberikan kursi kepada yang lebih membutuhkan selama di kereta, saya tahu kalau itu sudah jarang sekali terjadi di jaman sekarang ini, mau muada ataupun tua, pria ataupun wanita, jarang sekali yang menyadari apa yang harus diutamakan. Yang kedua adalah anak saya sering sekali melihat Nak Rizwan membaca Al-Qur’an di kereta.” aku tersentak mendengarnya.
“Abi…” kataku, “Jika alasannya demikian…” aku melanjutkan, “Saya siap menerima Aisyah sebagai istri saya, namuan itu jika Abi mengizinkan saya melamar langsung Aisyah di rumah Abi.”
Semilir angin siang menjelang sore ini, seperti menerpaku dengan harapan berbeda.
“Baik, Nak Rizwan. Saya akan minta Aisyah mengirimkan alamat lengkap Abi ke Nak Rizwan. Abi akan tunggu kedatangan Nak Rizwan disini. Oh ya bagaimana dengan keluarga Nak Rizwan sendiri?” tanya Abinya Aisyah lagi, “Nanti saya akan ke sana bersama ibu saya, karena ayah saya sudah almarhum beberapa tahun yang lalu. Bukan masalah kan, Bi?” tanyaku balik, “Innalillahi wa innailaihi roji’un… Abi turut berduka cita, Nak. Taka apa-apa, bawa ibu nanti ya kesini, tidak perlu bawa apapun kesini, cukup niat ta’aruf saja ke anak saya.” Setelah salam teleponpun bereakhirnya.
Aku menarik napas lega, bukan main leganya.
Tapi aku tidak langsung memasukkan ponselku ke saku kembali, tapi aku kembali menghubungi seseorang, “Assalamu’alaikum, sayang…” suara yang sangat aku rindukan, “Wa’alaikum salam, Bu…” tadi adalah suara ibuku tercinta, ibu yang telah merawatku selama ini, “Bu, hari ini aku pulang cepat, ada kabar gembira yang mau aku sampaikan nanti.” ibu terdengar ibu dengan maksudku, tapi aku tidak mau menjelaskannya lebih rinci, nanti saja menjadi kejutan untuknya. Aku merindukan senyum ibu saat mendengar kabar ini.
Ponsel kembali bordering, kali ini sebuah pesan : Assalamu’alaikum, afwan sebelumnya, syukron sudah mau menghubungi Aisyah. Insya Allah ta’aruf kita akan Allah SWT lancarkan. Nanti aku kirimkan alamat lengkapnya. Aisyah akan menunggu kedatangan akhi Rizwan, laki-laki Tebet.
Pesan berakhir, dan pesan berikutnya berisikan alamat lengkap.
Ya Allah, semoga ini jalan terbaik darimu.

Bogor, 29 Mei 2019
“Masih merindukan aroma dialog narasi yang kompleks, dan ini bisa dibilang karya yang saya yang cukup berbeda karena baru saja menyentuh genre yang seperti ini, semoga pembaca menyukainya.”

No comments:

Post a Comment

Untuk kemajuan blog saya, harap tinggalkan komentar, kritik, masukkan, dan yang lainnya untuk saya. Sesudah dan sebelumnya saya ucapkan banyak-banyak terimakasih.