"Kenapa kura-kura itu bisa menang,
Bu?" tanya Hasan, seorang bocah yang duduk di tengah dengan teman-temannya
yang lain. Pertanyaan itu terlontar seusai aku membacakan dongeng klasik antara
Kelinci dan kura-kura yang berlomba lari.
Ya, kalian pasti pernah dengar. Kelinci sombong
mengajak kura-kura berlomba lari, padahal ia tahu binatang bertempurung itu
terkenal dengan jalannya yang lambat. Namun kura-kura cerdik, ia meminta
bantuan beberapa temannya sesama kura-kura untuk menunggu di beberapa titik dan
bersemubunyi.
Mereka akan muncul satu persatu setelah kelinci
berada di titik-titik persembunyian mereka, seakan kura-kura itu berlari dengan
cepat. Dan kalian tahu apa akhir dari ceritanya, kura-kura terakhir yang
menunggu ada di garis akhir lomba. Kura-kuralah pemenang lomba itu.
Namun tadi itu pertanyaan dari Hasan adalah
pertanyaan klasik yang selalu aku temui sebagai pendongeng panggilan saat
anak-anak selesai mendengarkan cerita kelinci dan kura ini, "Ya karena
kura-kura cerdik, kelinci tidak sadar dengan kecerdikan kura-kura seperti di
cerita tadi." dan ini jawabanku yang juga selalu berhasil dengan
pertanyaan klise tersebut.
"Kalau itu Hasan juga tahu, Bu..."
anak tadi berkata lagi, si Ibu Guru yang sejak awal aku datang selalu di menemaniku, terlihat mengerutkan kening, sama
sepertiku, "Terus, Hasan mau tanya apa?" Ibu Gurunya bertanya balik
ke Hasan, "Hmmm..." anak itu tampak tertegun, gemas aku melihatnya.
"Hasan tahu kura-kura cerdik dan kelinci
kalah lomba lari. Yang mau Hasan tanya, kenapa kura-kura bisa menang? Padahal
kura-kura udah berbohong, kata Ibu Guru, kita ga boleh berbohong, dosa kan ya
Bu?" wah, pertanyaan apa ini? Aku dan Bu Guru tadi bengong dibuatnya. Lalu
apa yang harus aku jawab? Dia memang bohong dan itu dibolehkan?
"Iiihhh... Hasan nanyanya
ngebingungin!" seorang gadis di sampingnya menimpali, kalau tidak salah
nama gadis itu saat perkenalan tadi Anita, "Bu, biar Anita yang
jawab!" wuih... Ini seru, Bu Guru dan aku tertawa, kami berdua mengangguk,
"Coba Anita yang jawab, Ibu mau dengar!" jawabku akhirnya.
"Nih Hasan, dengerin ya..." ha ha
ha... Lucu sekali gayanya, seperti wanita dewasa saja. Dia sampai bangun dari
duduknya, dan itu kembali membuatku dan Bu Guru mereka tertawa, "Kan tadi
di ceritanya kura-kura bukan berbohong, tapi dia itu cerdik. Beda dong Hasan
bohong sama cerdik. Kalau kaya kura-kura bukan bohong namanya, jadi dia enggak
dosa kayak kata kamu tadi." walah, muter-muter tapi bisa dikatakan memang
itu inti ceritanya. Hasan mengangguk, entah dia paham atau pura-pura paham agar
Anita ini diam atau berhenti menganggapnya seperti seorang murid yang tak tahu
apa-apa.
"Nah, sekarang dengarkan Ibu..."
potongku, sehingga anak-anak kembali melihat ke arahku, "Sekarang tanggal
berapa? Ayo jawab!" tanyaku, "21 April, Bu!" serentak jawab
mereka, "Kan sekarang hari Kartini, Bu. Lihat aja, aku pakai baju
polisi!" Hasan berceloteh lagi, nampaknya dia anak yang aktif.
"Aku juga..." seru yang lainnya,
"Aku pakai kebaya, Bu!" seru anak di depanku, "Aku pakai baju
Bali..." aku tersenyum, mereka semua tampak lucu dan menggemaskan.
"Iya, kalian semuanya ganteng-ganteng dan
lucu-lucu." kataku disambut tawa mereka, "Tapi siapa yang tahu, hari
Kartini itu untuk merayakan apa?" tanyaku lagi, berat sih pertanyaan ini,
tapi biar anak-anak tahu kenapa hari ini di rayakan.
Seseorang mengacungkan jarinya, "Kalau
enggak salah, hari lahirnya Kartini, Bu!" yang lain mengiyakan, mirip beo
yang bersuara setelah tuannya mengajarkan, "Bu, sekarang aku boleh nanya,
enggak?" tanya anak lain, dia duduk di depan kiriku. Kalau tidak salah
juga, namanya Kiara.
Aku menganggukkan kepala untuk mempersilahkan
dia bertanya, "Bu, namanya lengkapnya kalau enggak salah Raden Ajeng
Kartini kan ya, Bu?" apa ini pertanyaanya? Akupun mengangguk, "Benar
kata Kiara, namanya Raden Ajeng Kartini, atau disingkat R.A Kartini."
Kiara tampak sedang membanggakan diri, namun
sesaat kemudian dia nampak serius lagi, "Bu, yang mau aku tanya... R.A
Kartini itu kenapa bisa jadi pahlawan?" aku tersenyum mendengar
pertanyaan, "Murid-murid Ibu cerdas semua, ya..." bisikku ke Ibu Guru
mereka, ia tersenyum, aku lihat ada kebanggan di matanya.
"Ibu jawab pertanyaan dari Kiara,
ya..." jawabku membuka penjelasan, "R.A Kartini jadi pahlawan karena
dia sudah memperjuangkan para perempuan di Indonesia." jawabku, sepertinya
terlalu berat, "Jadi bukan hanya untuk di rumah aja, tapi bisa kerja di
kantor dan sebagainya, atau singkatnya bisa dihargai seperti laki-laki."
lanjutku.
"Memang dulu perempuan di Indonesia enggak
bisa kerja dikantor?" tanya si gadis kecil itu lagi, "Iya, sama
keluarganya dibatasi, mereka dilarang kerja dikantor-kantor atau pekerjaan yang
biasa dilakukan oleh laki-laki." jawabku lagi, "Keluarganya maksudnya
orang tuanya, Bu?" Kiara masih tampak bingung, aku mengangguk, "Betul,
berkat usahanya, akhirnya perempuan-perempuan sekarang bisa hidup bebas, bisa
kerja dikantor-kantor, mengajar seperti Ibu Guru kalian, dan lain-lain, apapun
yang mereka sukai. Hebat kan R.A Kartini itu?" tanyaku balik, semoga dia
mengerti, sayangnya senyumpun tidak, apa lagi mengangguk.
Aku menghampirinya, "Lihat Bu Guru yang
duduk di depan. Ibu Guru itu bisa mengajar kalian berkat perjuangan R.A Kartini
loh!" aku ulang lagi sambil membelai rambutnya kali ini, mungkin sentuhan
bisa membuatnya lebih merilekskan otaknya yang saat ini berpikir keras,
"Tapi..." ia masih penasaran tampaknya, "Kalau dia
memperjuangkan perempuan dan keluarganya melarang, berarti dia ngelawan
keluarganya dong Bu? Dia ngelawan orang tuanya, Bu? Itu bukannya dosa?"
waduh, mentok lagi!
Aku menoleh ke Ibu Guru mereka, aku melihatnya
seperti juga memikirkan jawaban
yang ditanyakan Kiara, "Kalau dia melawan orang tua, itu kan dosa? Masa
yang melawan orang tua bisa jadi pahlawan?" sepertinya pertanyaan itu akan
terngiang di kepalaku sepanjang siang ini.
Akhirnya aku kembali menjelaskan perjuangan
tadi, dengan bahasa yang agak berbeda, "Kiara, berjuang yang Ibu maksud
disini bukan, teriak-teriak dan marah-marah sama orang tua. R.A Kartini tahu
kalau itu dosa, dia punya cara, yaitu menerbitkan sebuah buku, dia pandai
sekali bercerita. Cerita-cerita itulah yang akhirnya bisa diterbitkan dan
dibaca oleh orang lain. Gimana, sudah mengerti?" dengan ragu akhirnya ia
mengangguk, entah itu benar-benar mengerti atau hanya sebatas menyerah dari
pikirannya. Aku lihat di lelah berpikir atau mungkin kehabisan kata-kata, aku
tahu ada penolakan di hatinya tentang penjelasanku.
Akhirnya kegiatan berlanjut. Aku tak menyangka
sama sekali kalau mereka sangat kritis dan cerdas, dua pertanyaan yang membuat
orang dewasa seperti aku memutar otaknya. Bahkan sepintas tadi aku meragukan
pernyataan dan pengakuan pahlawan yang pemerintah berikan.
Aku jadi teringat beberapa artikel di media masa
yang meminta pemerintah mengkaji ulang ketentuannya dalam mengangkat pahlawan.
"Bu..." satu anak lagi mengangkat
tangannya dan mengacungkan jari telunjuk, aku menoleh ke arah anak tersebut.
Seorang anak laki-laki bertubuh gemuk, lucu sekali aku melihatnya,
menggemaskan, "Ya, kenapa, Dik?" tanyaku, "Boleh Reza
nanya?" ia berbalik mengajukan kalimat tanya, aku baru ingat, anak ini
namanya Reza Al-Fatah, nama yang indah, "Boleh, Reza mau tanya apa?"
aku mempersilahkan, ia berusaha untuk bangkit dari duduknya. Tubuhnya yang agak
gemuk, sedikit mengulitkan dirinya untuk bergerak, "Begini, Bu..." ia
memulai setelah yakin berdirinya stabil, "Kenapa setiap hari Kartini kita
harus pakai-pakaian daerah atau kaya polisi-polisian begitu? Kan hari Kartini
bukan 17 Agustusan yang hari Kemerdekaan Indonesia! Harusnya kan tanggal 17 Agustus
itu yang pakai baju kayak sekarang!" mataku hampir terbelalak
mendengarnya, gila... Cerdas semua mereka!
Si Ibu Guru yang sejak tadi mendengarkan kini
bangkit dengan tawa yang panjang, "Haduh, kalian ini pinternya kelewatan
ya..." katanya mendengar celoteh mereka, "Begini..." akhirnya
dia mengambil alih, "Kalau 17-an kan hari kemerdekaan Indonesia dari
penjajah, nah baju yang pantas seperti baju-baju pejuang yang membela
Indonesia, kalau hari Kartini ini kenapa harus pakai-pakaian adat itu untuk melambangkan
kalau seluruh penduduk Indonesia bersatu dengan Kartini memperjuangkan apa yang
Kartini perjuangkan. Seperti baju polisi yang kalian kenakan, mengartikan kalau
polisi juga bisa dikerjakan oleh wanita, guru juga begitu, tidak harus pria
atau laki-laki yang bisa, wanita juga harus bisa. Lalu siapa saja wanita yang
bisa melakukan itu? Ya seluruh wanita di Indonesia, nah seluruh wanita
Indonesia yang dilambangkan dengan kebaya dan beberapa baju adat lainnya."
"Wuih... Bu Guru pinter!" seru Kiara,
sepertinya kali ini dia puas, "Kalau tidak pintar, Ibu tidak akan bisa ada
di sini dan menjadi guru kalian! Benar kan?" semua mengangguk mengiyakan
sang Guru yang berwibawa itu.
Aku tersenyum mendengar apa yang ia katakan
tadi. Ternyata ilmuku masih jauh dari apa yang sudah aku peroleh. Pengalamanku
selama dua tahun menjadi pendongen di Jabodetabek ternyata masih kurang dan
masih harus banyak belajar.
Bogor, 13 Mei 2013
19.25 WIB
"Menikmati rasa
kantuk dari orang-orang di kendaraan besi panjang ini. Teringat Pohon Kehidupan,
akankah itu terwujud?"
No comments:
Post a Comment
Untuk kemajuan blog saya, harap tinggalkan komentar, kritik, masukkan, dan yang lainnya untuk saya. Sesudah dan sebelumnya saya ucapkan banyak-banyak terimakasih.