Friday 19 December 2014

Celoteh



"Kenapa kura-kura itu bisa menang, Bu?" tanya Hasan, seorang bocah yang duduk di tengah dengan teman-temannya yang lain. Pertanyaan itu terlontar seusai aku membacakan dongeng klasik antara Kelinci dan kura-kura yang berlomba lari.
Ya, kalian pasti pernah dengar. Kelinci sombong mengajak kura-kura berlomba lari, padahal ia tahu binatang bertempurung itu terkenal dengan jalannya yang lambat. Namun kura-kura cerdik, ia meminta bantuan beberapa temannya sesama kura-kura untuk menunggu di beberapa titik dan bersemubunyi.

Mereka akan muncul satu persatu setelah kelinci berada di titik-titik persembunyian mereka, seakan kura-kura itu berlari dengan cepat. Dan kalian tahu apa akhir dari ceritanya, kura-kura terakhir yang menunggu ada di garis akhir lomba. Kura-kuralah pemenang lomba itu.
Namun tadi itu pertanyaan dari Hasan adalah pertanyaan klasik yang selalu aku temui sebagai pendongeng panggilan saat anak-anak selesai mendengarkan cerita kelinci dan kura ini, "Ya karena kura-kura cerdik, kelinci tidak sadar dengan kecerdikan kura-kura seperti di cerita tadi." dan ini jawabanku yang juga selalu berhasil dengan pertanyaan klise tersebut.
"Kalau itu Hasan juga tahu, Bu..." anak tadi berkata lagi, si Ibu Guru yang sejak awal aku datang selalu di  menemaniku, terlihat mengerutkan kening, sama sepertiku, "Terus, Hasan mau tanya apa?" Ibu Gurunya bertanya balik ke Hasan, "Hmmm..." anak itu tampak tertegun, gemas aku melihatnya.
"Hasan tahu kura-kura cerdik dan kelinci kalah lomba lari. Yang mau Hasan tanya, kenapa kura-kura bisa menang? Padahal kura-kura udah berbohong, kata Ibu Guru, kita ga boleh berbohong, dosa kan ya Bu?" wah, pertanyaan apa ini? Aku dan Bu Guru tadi bengong dibuatnya. Lalu apa yang harus aku jawab? Dia memang bohong dan itu dibolehkan?
"Iiihhh... Hasan nanyanya ngebingungin!" seorang gadis di sampingnya menimpali, kalau tidak salah nama gadis itu saat perkenalan tadi Anita, "Bu, biar Anita yang jawab!" wuih... Ini seru, Bu Guru dan aku tertawa, kami berdua mengangguk, "Coba Anita yang jawab, Ibu mau dengar!" jawabku akhirnya.
"Nih Hasan, dengerin ya..." ha ha ha... Lucu sekali gayanya, seperti wanita dewasa saja. Dia sampai bangun dari duduknya, dan itu kembali membuatku dan Bu Guru mereka tertawa, "Kan tadi di ceritanya kura-kura bukan berbohong, tapi dia itu cerdik. Beda dong Hasan bohong sama cerdik. Kalau kaya kura-kura bukan bohong namanya, jadi dia enggak dosa kayak kata kamu tadi." walah, muter-muter tapi bisa dikatakan memang itu inti ceritanya. Hasan mengangguk, entah dia paham atau pura-pura paham agar Anita ini diam atau berhenti menganggapnya seperti seorang murid yang tak tahu apa-apa.
"Nah, sekarang dengarkan Ibu..." potongku, sehingga anak-anak kembali melihat ke arahku, "Sekarang tanggal berapa? Ayo jawab!" tanyaku, "21 April, Bu!" serentak jawab mereka, "Kan sekarang hari Kartini, Bu. Lihat aja, aku pakai baju polisi!" Hasan berceloteh lagi, nampaknya dia anak yang aktif.


"Aku juga..." seru yang lainnya, "Aku pakai kebaya, Bu!" seru anak di depanku, "Aku pakai baju Bali..." aku tersenyum, mereka semua tampak lucu dan menggemaskan.
"Iya, kalian semuanya ganteng-ganteng dan lucu-lucu." kataku disambut tawa mereka, "Tapi siapa yang tahu, hari Kartini itu untuk merayakan apa?" tanyaku lagi, berat sih pertanyaan ini, tapi biar anak-anak tahu kenapa hari ini di rayakan.
Seseorang mengacungkan jarinya, "Kalau enggak salah, hari lahirnya Kartini, Bu!" yang lain mengiyakan, mirip beo yang bersuara setelah tuannya mengajarkan, "Bu, sekarang aku boleh nanya, enggak?" tanya anak lain, dia duduk di depan kiriku. Kalau tidak salah juga, namanya Kiara.
Aku menganggukkan kepala untuk mempersilahkan dia bertanya, "Bu, namanya lengkapnya kalau enggak salah Raden Ajeng Kartini kan ya, Bu?" apa ini pertanyaanya? Akupun mengangguk, "Benar kata Kiara, namanya Raden Ajeng Kartini, atau disingkat R.A Kartini."
Kiara tampak sedang membanggakan diri, namun sesaat kemudian dia nampak serius lagi, "Bu, yang mau aku tanya... R.A Kartini itu kenapa bisa jadi pahlawan?" aku tersenyum mendengar pertanyaan, "Murid-murid Ibu cerdas semua, ya..." bisikku ke Ibu Guru mereka, ia tersenyum, aku lihat ada kebanggan di matanya.
"Ibu jawab pertanyaan dari Kiara, ya..." jawabku membuka penjelasan, "R.A Kartini jadi pahlawan karena dia sudah memperjuangkan para perempuan di Indonesia." jawabku, sepertinya terlalu berat, "Jadi bukan hanya untuk di rumah aja, tapi bisa kerja di kantor dan sebagainya, atau singkatnya bisa dihargai seperti laki-laki." lanjutku.
"Memang dulu perempuan di Indonesia enggak bisa kerja dikantor?" tanya si gadis kecil itu lagi, "Iya, sama keluarganya dibatasi, mereka dilarang kerja dikantor-kantor atau pekerjaan yang biasa dilakukan oleh laki-laki." jawabku lagi, "Keluarganya maksudnya orang tuanya, Bu?" Kiara masih tampak bingung, aku mengangguk, "Betul, berkat usahanya, akhirnya perempuan-perempuan sekarang bisa hidup bebas, bisa kerja dikantor-kantor, mengajar seperti Ibu Guru kalian, dan lain-lain, apapun yang mereka sukai. Hebat kan R.A Kartini itu?" tanyaku balik, semoga dia mengerti, sayangnya senyumpun tidak, apa lagi mengangguk.
Aku menghampirinya, "Lihat Bu Guru yang duduk di depan. Ibu Guru itu bisa mengajar kalian berkat perjuangan R.A Kartini loh!" aku ulang lagi sambil membelai rambutnya kali ini, mungkin sentuhan bisa membuatnya lebih merilekskan otaknya yang saat ini berpikir keras, "Tapi..." ia masih penasaran tampaknya, "Kalau dia memperjuangkan perempuan dan keluarganya melarang, berarti dia ngelawan keluarganya dong Bu? Dia ngelawan orang tuanya, Bu? Itu bukannya dosa?" waduh, mentok lagi!
Aku menoleh ke Ibu Guru mereka, aku melihatnya seperti juga memikirkan jawaban yang ditanyakan Kiara, "Kalau dia melawan orang tua, itu kan dosa? Masa yang melawan orang tua bisa jadi pahlawan?" sepertinya pertanyaan itu akan terngiang di kepalaku sepanjang siang ini.
Akhirnya aku kembali menjelaskan perjuangan tadi, dengan bahasa yang agak berbeda, "Kiara, berjuang yang Ibu maksud disini bukan, teriak-teriak dan marah-marah sama orang tua. R.A Kartini tahu kalau itu dosa, dia punya cara, yaitu menerbitkan sebuah buku, dia pandai sekali bercerita. Cerita-cerita itulah yang akhirnya bisa diterbitkan dan dibaca oleh orang lain. Gimana, sudah mengerti?" dengan ragu akhirnya ia mengangguk, entah itu benar-benar mengerti atau hanya sebatas menyerah dari pikirannya. Aku lihat di lelah berpikir atau mungkin kehabisan kata-kata, aku tahu ada penolakan di hatinya tentang penjelasanku.
Akhirnya kegiatan berlanjut. Aku tak menyangka sama sekali kalau mereka sangat kritis dan cerdas, dua pertanyaan yang membuat orang dewasa seperti aku memutar otaknya. Bahkan sepintas tadi aku meragukan pernyataan dan pengakuan pahlawan yang pemerintah berikan.
Aku jadi teringat beberapa artikel di media masa yang meminta pemerintah mengkaji ulang ketentuannya dalam mengangkat pahlawan.
"Bu..." satu anak lagi mengangkat tangannya dan mengacungkan jari telunjuk, aku menoleh ke arah anak tersebut. Seorang anak laki-laki bertubuh gemuk, lucu sekali aku melihatnya, menggemaskan, "Ya, kenapa, Dik?" tanyaku, "Boleh Reza nanya?" ia berbalik mengajukan kalimat tanya, aku baru ingat, anak ini namanya Reza Al-Fatah, nama yang indah, "Boleh, Reza mau tanya apa?" aku mempersilahkan, ia berusaha untuk bangkit dari duduknya. Tubuhnya yang agak gemuk, sedikit mengulitkan dirinya untuk bergerak, "Begini, Bu..." ia memulai setelah yakin berdirinya stabil, "Kenapa setiap hari Kartini kita harus pakai-pakaian daerah atau kaya polisi-polisian begitu? Kan hari Kartini bukan 17 Agustusan yang hari Kemerdekaan Indonesia! Harusnya kan tanggal 17 Agustus itu yang pakai baju kayak sekarang!" mataku hampir terbelalak mendengarnya, gila... Cerdas semua mereka!
Si Ibu Guru yang sejak tadi mendengarkan kini bangkit dengan tawa yang panjang, "Haduh, kalian ini pinternya kelewatan ya..." katanya mendengar celoteh mereka, "Begini..." akhirnya dia mengambil alih, "Kalau 17-an kan hari kemerdekaan Indonesia dari penjajah, nah baju yang pantas seperti baju-baju pejuang yang membela Indonesia, kalau hari Kartini ini kenapa harus pakai-pakaian adat itu untuk melambangkan kalau seluruh penduduk Indonesia bersatu dengan Kartini memperjuangkan apa yang Kartini perjuangkan. Seperti baju polisi yang kalian kenakan, mengartikan kalau polisi juga bisa dikerjakan oleh wanita, guru juga begitu, tidak harus pria atau laki-laki yang bisa, wanita juga harus bisa. Lalu siapa saja wanita yang bisa melakukan itu? Ya seluruh wanita di Indonesia, nah seluruh wanita Indonesia yang dilambangkan dengan kebaya dan beberapa baju adat lainnya."
"Wuih... Bu Guru pinter!" seru Kiara, sepertinya kali ini dia puas, "Kalau tidak pintar, Ibu tidak akan bisa ada di sini dan menjadi guru kalian! Benar kan?" semua mengangguk mengiyakan sang Guru yang berwibawa itu.
Aku tersenyum mendengar apa yang ia katakan tadi. Ternyata ilmuku masih jauh dari apa yang sudah aku peroleh. Pengalamanku selama dua tahun menjadi pendongen di Jabodetabek ternyata masih kurang dan masih harus banyak belajar.

Bogor, 13 Mei 2013
19.25 WIB
"Menikmati rasa kantuk dari orang-orang di kendaraan besi panjang ini. Teringat Pohon Kehidupan, akankah itu terwujud?"

No comments:

Post a Comment

Untuk kemajuan blog saya, harap tinggalkan komentar, kritik, masukkan, dan yang lainnya untuk saya. Sesudah dan sebelumnya saya ucapkan banyak-banyak terimakasih.