Sunday 4 January 2015

Chintya



“Kau mengerti apa yang bunda katakana tadi?” tanyaku bersemangat dengan senyum sumringah kepada Chintya, anakku yang kini mulai menginjakkan kakinya di kelas dua Sekolah Dasar atau SD, wajahnya juga tak jauh berbeda senangnya diriku, ia seakan bisa mengerti bahasa lisan dan tubuhku yang menantikan laporannya yang menggemberikan darinya, dan itu setiap hari aku seakan menerapkannya kepada Chintya, agar dia termotivasi dengan baik dalam belajarnya.

Ia melepaskan sabuk pengaman yang tadi melindungi dada dan perutnya dari hentakan mendadak. Ia mengambil tasnya yang ada di kursi belakang, menciumku lalu membukakan pintu mobil untuk dirinya sendiri, “Bunda, jangan pulang terlalu malam ya!” katanya dengan suara lembut dan imutnya sambil mengoreksi pakaiannya, dia memang cukup memperhatikan dandanan yang ia kenakan, “Iya, sayang…” kataku tersenyum dan mencium keningnya dengan memiringkan badanku ke samping kiri, “Nanti siang kamu seperti biasa, setelah Bi Minah datang menjemputmu, kamu harus langsung pulang dan nurut apa yang Bi Minah katakan. Dan jangan jajan sembarangan, bunda kasih Chintya bekal untuk dimakan, jadi sekali lagi, jangan jajan sembarangan!” amanahku kepadanya, “Iya, bunda…” katanya tersenyum sambil mencium tanganku, “Kan jajan sembarangan banyak kumannya, nanti Chintya sakit perut, nanti bunda sedih deh lihat Chintya sakit.” ekspresinya seperti mengkhawatirkanku jika itu benar terjadi.
Aku mnengangkat alis tertawa geli melihat ekspresi wajahnya tadi, “Eh, tapi kalau sakitnya karena Chintya jajan sembarangan, bunda akan marah sama Chintya karena gak nurut apa yang bunda minta.” Kataku member amanah lagi, “Siap, bunda!” ia seperti melakukan penghormatan ala militer dengan tangan kanan terbuka telapaknya dan ditempelkan kekeningnya. Aku semakin geli melihatnya, sambil membetulkan topi merah hatinya berlogo Tut Wuri Handayani, aku kembali mencium keningnya dan mengatakan, “Sudah sana masuk ke halaman sekolah, sudah mau bel masuk!” ia mengangguk manis dan berlari menuju sekumpulan kawannya yang seperti menunggu kehadirannya. Mobilkupun berlalu mengejar waktu menuju kantor.


Leher sampai tulang punggungku terasa berat setelah menghadap dua kali meeting bersama klien di kantor dan seorang klien asuransi yang sedikit menyebalkan, kantor memiliki aturan dan aturan itu berlaku untuk semua klien, tidak terkecuali klienku itu yang notabennya cukup terpandang di kota Jakarta ini.
Tapi semua itu membuatku bernapas lega ketika jam sudah menunjukkan jam dua belas siang, dimana aku bisa melepaskan semua penatku sejenak. Ditambah jadwal setelah makan siang nanti aku tahu semua tidak ada kegitan lagi, alias jadwal kosong. Para klien yang punya janji denganku kebanyak memilih bertemu sebelum jam makan siang dengan alasan pikiran lebih pagi lebih fresh, dan memang aku akui alasan itu tepat. Jadi, rata-rata setelah jam makan siang aku suka bermalas-malasan dengan teman-temanku dengan bergosip ataupun becandaan kecil tapi mampu membuaat kantor ini menjadi semeriah pasar malam.
“Hai, cantik…” aku mendengar suara seorang wanita dari belakang kursiku, aku kenal suara manis ini, aku membalikan badan dan melihat sosok cantik dengan rambut sebahu dan stelan blazer hitam dipadukan dengan kemeja motif bunga yang indah. Tubuhnya yang wangi sering sekali menarik para pria di kantor ini, menggodanya dan mencoba menarik perhatiannya, tapi dia sama sepertiku, seorang ibu yang memilki seorang anak. Aku memanggil dirinya Yulia, nama sederhana yang seakan tidak memberatkan apapun dari kelebihan fisiknya. Dia teman terdekatku dikantor, selain anaknya Fredi yang juga teman dari anakku.
Aku tersenyum kepadanya, “Hari ini kita pesan makanan aja dan makan di sini ya?” kataku, “Punggu pegal nih, klien tadi juga bikin mumet otak!” keluhku kepadanya, “Ok Wid, kamu mau pesan apa? Nanti aku SMS-in si Bu Khaidir, biar dibawain ke sini pesanannya.” Aku berpikir sejenak membayangkan makanan menggugah seleraku, “Hmmm…Seperti asyik ya kalau hari ini makan gado-gado yang super pedas!” jawabanku disambut tawa oleh Yulia, “Hati-hati perutmu! Suka banget sama yang pedas-pedas, bahaya buat lambungmu nanti…!” aku cepat menggelangklan, “Hehehe… enak saja, aku bukan kamu ya Yul, yang punya penyakit di pencernaan! Jangan sampai deh…” kataku menegelus-ngelus perut, “Ya makanya dijaga atuh, Neng geulis!” aku mengangguk saja mengiyakan, “Tapi tetep gado-gado super pedas!” kataku keukeuh.
Kami berdua tertawa lepas, “Apa minumnya?” tanyanya lagi, “Aku mau jus ah…” jawabku, “Jus sirsak, tapi jangan ditambah susu.” ia mengangguk cepat, “Oke, aku ambil HP dulu di laci meja, nanti aku ke sini lagi.” aku juga menjawabnya dengan anggukan kepala. Iapun segera berlalu meninggalkan meja kerjaku.
Aku membalikkan badan untuk menutup aplikasi yang masih terbuka di komputer dan membiarkan screen saver bergambar animasi kehidupan akuarium laut berjalan. Saat itulah ponselku bordering, akupun membuka laci meja kerjaku dan mengambil HP tersebut, membuka ponselku yang bertipe flip ini, membaca nama yang menghubungku : Rumah. Seseorang menelpon dari rumahku, mungkin si Chintya, dia memang terkadang menghubungiku, walau hanya mengatakan kalau ia kangen kepadaku atau sengaja mengganggu kerjaku dengan celoteh lucunya yang panjang.
“Halo, sayang…” aku reflek berkata demikian karena yakin si Minah tidak akan lancang menggunakan teleponku jika tidak terlalu penting, Karena aku ingat kalau semua pesan untuk dirinya sudah aku letakkan di atas kulkas seperti biasa.
“Maaf, Nyonya…” ups, ternyata ini Minah, “Oh, kau Minah…” aku jadi merasa tidak enak, tumben sekali dia menghubungiku. Aku mendengar dari balik suaranya terdengar banyak suara orang, ada sedikit kecurigaan dari hatiku mendengar background suara itu, tapi aku segera tepiskan pikiran buruk, mungkin dari suara televisi, mengingat telepon rumah itu aku letakkan di samping televisi.
“Nyonya, maafin Minah…” aku mendengaar suaranya terisak-isak seperti menangis, aku mengerutkan kening, “Minah, kenapa nangis? Kamu sakit? Atau…”, “Bukan, Nya!” ia memotong, “Anu… Neng Chintya gak ada di sekolahnya!” mendengar itu mataku terbelalak, “APA MAKSUDMU?” spontan aku berteriak, beberapa orang yang masih ada di ruangan besar ini menatapku, “Neng Chintya waktu Minah mau jemput udah gak ada di sekolahnya, padahal Minah gak telat, malah kecepatan datangnya, satu jam sebelum pulang!”
“Ya Tuhan!”
“Maaf, Nya… Minah takut, Minah marah-marah sama guru Neng Chintya pas mereka kasih tahu kalau ada perempuan yang menjemputnya pulang karena katanya si Tuan sakit! Minah langsung nelepon Tuan, kata Tuan, dia gak nyuruh orang untuk jemput Neng Chintya dan dia Tuan bilang juga kalau dia sehat, gak sakit sedikitpun!”
“Ya Tuhan!!!” ulangku tambah panik, si Minah terus menerangkan, dan jantungku semakin tidak karuan, “Tuan sekarang sedang di jalan pulang, Minah juga udah hubungi polisi, Bapak-bapak polisi itu sudah ada di rumah saat ini!”
Aku tidak dapat mendengar kata-katanya lagi, akupun terjatuh ke lantai karena kepalaku terasa sangat pening.


Aku berbaring lemah di sofa, suamiku, Anton, yang menghadapi pertanyaan tim penyidik kepolisian, begitu juga Minah yang lebih tahu duduk persoalaannya. Hadirnya juga guru-guru Chintya yang menyaksikan penjemputan, aku sempat marah kepada mereka yang mebiarkan orang asing masuk ke area sekolah dan mereka membiarkan Chintya dibawa oleh asing tersebut. Tapi semua sudah terjadi, Chintya belum balik, Chintya diculik.
Anton berdiri terpaku di sudut pintu rumah, matanya yang membengkak karena menangis tadi membuat aku tidak iba melihatnya. Aku menghampirinya dan memeluknya, “Ayah…” kataku kepadanya, “Aku yakin Chintya tidak apa-apa!” entah bagaimana dan kenapa aku bisa sekuat ini, “Mungkin mereka hanya membawa keliling Chintya dan segera mengembalikannya kepada kita!”
“Gila, bagaimana mungkin guru-guru terpelajar itu bisa seceroboh itu? Bagaimana mereka bisa percaya?”
“Sayang, tidak baik mengumpat!” kataku menenangkan, “Mungkin penjahat itu menggunakan hipnotis untuk mengelabui guru Chintya, tidak mungkin mereka seceroboh itu jika tidak ada sesuatu di diri si penculik.” ia akhirnya terdiam dan hanya terisak menagis, air matanya sekarang sudah mengering.
Sampai senja datang, belum ada kabar dari siapapun tentang keberadaan Chintya dan dari pelaku yang biasanya meminta tebusan.


Sudah hari ke tiga Chintya belum dapat kami temukan, beberapa orang kantor menyarankan diriku untuk beristirahat lebih lama. Tapi aku lebih memilih duduk di kursi kerjaku, menangi puluhan klien lewat pekerjaanku. Mengatas namakan jasa, asuransi aku nilai cukup baik. Namun suamiku tampak masih memilih membantu pihak kepolisian untuk menemukan anak kami, Chintya.
“Kenapa kamu tetap memaksa masuk kerja?” tanya Yulia, disampingnya juga berdiri Mala dan Wawan, mereka bertega membawakan sup krim ayam dan secangkir teh manis hangat. Aku menatap mereka tanpa ekspresi dan menjawab dengan cepat. Aku merapikan mejaku beberapa kali seperti orang ling-lung, “Aku tidak apa-apa…” aku tahu senyumanku barusan sangat kaku.


Tak terasa ini sudah memasuki tahun ke sepuluh sejak aku dan suamiku kehilangan gadis kecil kami, Chintya, aku membuatkan sebuah kuae tart istimewa untuknya, dengan lapisan coklat dan komponen bunga-bunga kecil yang manis serta warna-warni yang indah. Suamiku tidak ikut merayakan ulang tahun Chintya yang ke 17, ia izin pulang agak malam karena ada lembur nanti sore, entah sampai jam berapa katanya.
Aku nyalahkan lilin berbentuk angka 17 itu dan menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun untuknya, untuk gadis kecilku yang kini mungkin sudah beranjak dewasa. Setelah selesai aku tiup api pada lilin tersebut sampai seluruh ruangan gelap gulita, “Selamat ulang tahun ke 17, sayang. Semoga kau baik-baik saja di sana!” akupun tertidur dengan kepala dimiringkan di atas meja makan.


Rumah Sakit Swasta Jakarta, Pertengahan September 2012…

“Pak Anton, kenapa anda belum juga mengikuti saran saya?” Tanya lelaki berkepala plontos dengan jas putih di tubuhnya, “Maaf, Dok.” jawab pria tampan satu lagi yang terpisahkan oleh meja kayu yang lebar, “Saya pikir itu hanya sementara, dan banyak wanita yang mengalami hal serupa seperti yang istri saya alami.”
“Memang benar, tapi kenyataannya tidak., Pak Anton. Pengangkatan rahim istri anda 18 tahun lalu ternyata berdampak sangat buruk. Pernikahan Anda yang saat itu berusia 1 tahun harus merelakan istri Anda kehilangan rahimnya, lewat operasi pengatan sel kanker yang menempel di rahim istri Anda. Tentunya itu sangat berpengaruh dengan perkembangan psikis istri Anda yang ingin mendapatkan momongan dengan segera.” dokter itu meletakkan ballpoint-nya di atas buku tebalnya. Pria yang menjadi lawan bicaranya tertunduk, matanya memerah seperti ingin menangis, “Baiklah, lalu apa alasan anda ingin menemui saya?” Tanya dokter itu mengingat inti dari pertemuan dengan kliennya itu lewat telepon sebelum mereka bertatap muka.
Akhirnya pria tampan berkemeja kotak-kotak merah putih itu mengangkat wajahnya, “Saat saya berada di kantor tadi, istri saya menghubungi saya. Katanya ia ingin merayakan ulang tahun Chintya yang ke 17 malam ini. Maka saya berinisitif menemui Anda, dok.”
“Pak Anton, istri Anda saya harapkan di bawa ke Rumah Sakit Kejiwaan untuk proses lebih lanjut. Pikirannya tidak bisa menerima kenyataan bahwa Chintya tersebut hanyalah khayalannya saja, Chintya itu tidak benar adanya. Dan pemikirannya yang membentuk karakter Chintya dalam bayangannya hanya akan memperkeruh pikirannya, dan di Rumah Sakit tersebut akan ada pengobatan dan penangan lebih baik.” Sang dokter meneguk air putihnya di dalam gelas ke dalam mulut, “Imajinasinya sangan luas, Pak… mungkin karena dia tak kunjung menemukan keberadaan Chintya, dia menggambarkan seolah Chintya diculik dan sampai sekarang belum diketemukan.” ia mengambil kertas dan menuliskan beberapa kata di sana, “Saya akan menitipkan pesan ini kepada dokter Hedi, dia yang akan menangani istri Anda sebaik mungkin dan saya harapkan istri Anda bisa dapat sembuh total seperti sedia kala.
Pria bernama Anton menerima surat yang dimasukkan ke dalam amplop putih berkop Rumah Sakit swasta ini. Ia berjabat tangan dengan dokter pribadinya, “Terima kasih, Dok…” katanya, si dokter mengangguk sambil menepuk bahu kliennya, “Tidak perlu berterima kasih kepada saya, sudah kewajiban saya membantu Anda, Pak. Yang terpenting kuatkan hati Anda, tanamkan kesabaran lebih di hati Anda untuk dapat menerima semuanya. Dan semoga istri Anda bisa lekas sembuh dan normal seperti sedia kala.”
Antonpun meninggalkan ruang dokternya menuju plataran parkir untuk mengambil mobilnya kembali ke rumah menemui istrinya yang tercinta.

Bogor, 15 September 2012
“Menunggu istriku pulang mengajar…”

No comments:

Post a Comment

Untuk kemajuan blog saya, harap tinggalkan komentar, kritik, masukkan, dan yang lainnya untuk saya. Sesudah dan sebelumnya saya ucapkan banyak-banyak terimakasih.