“Kau mengerti apa yang bunda katakana tadi?”
tanyaku bersemangat dengan senyum sumringah kepada Chintya, anakku yang kini
mulai menginjakkan kakinya di kelas dua Sekolah Dasar atau SD, wajahnya juga
tak jauh berbeda senangnya diriku, ia seakan bisa mengerti bahasa lisan dan
tubuhku yang menantikan laporannya yang menggemberikan darinya, dan itu setiap
hari aku seakan menerapkannya kepada Chintya, agar dia termotivasi dengan baik
dalam belajarnya.
Ia melepaskan sabuk pengaman yang tadi
melindungi dada dan perutnya dari hentakan mendadak. Ia mengambil tasnya yang
ada di kursi belakang, menciumku lalu membukakan pintu mobil untuk dirinya
sendiri, “Bunda, jangan pulang terlalu malam ya!” katanya dengan suara lembut
dan imutnya sambil mengoreksi pakaiannya, dia memang cukup memperhatikan
dandanan yang ia kenakan, “Iya, sayang…” kataku tersenyum dan mencium keningnya
dengan memiringkan badanku ke samping kiri, “Nanti siang kamu seperti biasa,
setelah Bi Minah datang menjemputmu, kamu harus langsung pulang dan nurut apa
yang Bi Minah katakan. Dan jangan jajan sembarangan, bunda kasih Chintya bekal
untuk dimakan, jadi sekali lagi, jangan jajan sembarangan!” amanahku kepadanya,
“Iya, bunda…” katanya tersenyum sambil mencium tanganku, “Kan jajan sembarangan
banyak kumannya, nanti Chintya sakit perut, nanti bunda sedih deh lihat Chintya
sakit.” ekspresinya seperti mengkhawatirkanku jika itu benar terjadi.
Aku mnengangkat alis tertawa geli melihat
ekspresi wajahnya tadi, “Eh, tapi kalau sakitnya karena Chintya jajan
sembarangan, bunda akan marah sama Chintya karena gak nurut apa yang bunda
minta.” Kataku member amanah lagi, “Siap, bunda!” ia seperti melakukan
penghormatan ala militer dengan tangan kanan terbuka telapaknya dan ditempelkan
kekeningnya. Aku semakin geli melihatnya, sambil membetulkan topi merah hatinya
berlogo Tut Wuri Handayani, aku kembali mencium keningnya dan mengatakan,
“Sudah sana masuk ke halaman sekolah, sudah mau bel masuk!” ia mengangguk manis
dan berlari menuju sekumpulan kawannya yang seperti menunggu kehadirannya.
Mobilkupun berlalu mengejar waktu menuju kantor.
Leher sampai tulang punggungku terasa berat
setelah menghadap dua kali meeting bersama klien di kantor dan seorang klien
asuransi yang sedikit menyebalkan, kantor memiliki aturan dan aturan itu
berlaku untuk semua klien, tidak terkecuali klienku itu yang notabennya cukup
terpandang di kota Jakarta ini.
Tapi semua itu membuatku bernapas lega ketika
jam sudah menunjukkan jam dua belas siang, dimana aku bisa melepaskan semua
penatku sejenak. Ditambah jadwal setelah makan siang nanti aku tahu semua tidak
ada kegitan lagi, alias jadwal kosong. Para klien yang punya janji denganku
kebanyak memilih bertemu sebelum jam makan siang dengan alasan pikiran lebih
pagi lebih fresh, dan memang aku akui alasan itu tepat. Jadi, rata-rata setelah
jam makan siang aku suka bermalas-malasan dengan teman-temanku dengan bergosip
ataupun becandaan kecil tapi mampu membuaat kantor ini menjadi semeriah pasar
malam.
“Hai, cantik…” aku mendengar suara seorang wanita
dari belakang kursiku, aku kenal suara manis ini, aku membalikan badan dan
melihat sosok cantik dengan rambut sebahu dan stelan blazer hitam dipadukan
dengan kemeja motif bunga yang indah. Tubuhnya yang wangi sering sekali menarik
para pria di kantor ini, menggodanya dan mencoba menarik perhatiannya, tapi dia
sama sepertiku, seorang ibu yang memilki seorang anak. Aku memanggil dirinya
Yulia, nama sederhana yang seakan tidak memberatkan apapun dari kelebihan
fisiknya. Dia teman terdekatku dikantor, selain anaknya Fredi yang juga teman
dari anakku.
Aku tersenyum kepadanya, “Hari ini kita pesan
makanan aja dan makan di sini ya?” kataku, “Punggu pegal nih, klien tadi juga
bikin mumet otak!” keluhku kepadanya,
“Ok Wid, kamu mau pesan apa? Nanti aku SMS-in si Bu Khaidir, biar dibawain ke
sini pesanannya.” Aku berpikir sejenak membayangkan makanan menggugah seleraku,
“Hmmm…Seperti asyik ya kalau hari ini makan gado-gado yang super pedas!”
jawabanku disambut tawa oleh Yulia, “Hati-hati perutmu! Suka banget sama yang
pedas-pedas, bahaya buat lambungmu nanti…!” aku cepat menggelangklan, “Hehehe…
enak saja, aku bukan kamu ya Yul, yang punya penyakit di pencernaan! Jangan
sampai deh…” kataku menegelus-ngelus perut, “Ya makanya dijaga atuh, Neng geulis!” aku mengangguk saja
mengiyakan, “Tapi tetep gado-gado super pedas!” kataku keukeuh.
Kami berdua tertawa lepas, “Apa minumnya?”
tanyanya lagi, “Aku mau jus ah…” jawabku, “Jus sirsak, tapi jangan ditambah
susu.” ia mengangguk cepat, “Oke, aku ambil HP dulu di laci meja, nanti aku ke
sini lagi.” aku juga menjawabnya dengan anggukan kepala. Iapun segera berlalu
meninggalkan meja kerjaku.
Aku membalikkan badan untuk menutup aplikasi
yang masih terbuka di komputer dan membiarkan screen saver bergambar animasi kehidupan akuarium laut berjalan.
Saat itulah ponselku bordering, akupun membuka laci meja kerjaku dan mengambil
HP tersebut, membuka ponselku yang bertipe flip
ini, membaca nama yang menghubungku : Rumah. Seseorang menelpon dari
rumahku, mungkin si Chintya, dia memang terkadang menghubungiku, walau hanya
mengatakan kalau ia kangen kepadaku atau sengaja mengganggu kerjaku dengan
celoteh lucunya yang panjang.
“Halo, sayang…” aku reflek berkata demikian karena
yakin si Minah tidak akan lancang menggunakan teleponku jika tidak terlalu
penting, Karena aku ingat kalau semua pesan untuk dirinya sudah aku letakkan di
atas kulkas seperti biasa.
“Maaf, Nyonya…” ups, ternyata ini Minah, “Oh,
kau Minah…” aku jadi merasa tidak enak, tumben sekali dia menghubungiku. Aku
mendengar dari balik suaranya terdengar banyak suara orang, ada sedikit
kecurigaan dari hatiku mendengar background
suara itu, tapi aku segera tepiskan pikiran buruk, mungkin dari suara televisi,
mengingat telepon rumah itu aku letakkan di samping televisi.
“Nyonya, maafin Minah…” aku mendengaar suaranya
terisak-isak seperti menangis, aku mengerutkan kening, “Minah, kenapa nangis?
Kamu sakit? Atau…”, “Bukan, Nya!” ia memotong, “Anu… Neng Chintya gak ada di
sekolahnya!” mendengar itu mataku terbelalak, “APA MAKSUDMU?” spontan aku
berteriak, beberapa orang yang masih ada di ruangan besar ini menatapku, “Neng
Chintya waktu Minah mau jemput udah gak ada di sekolahnya, padahal Minah gak
telat, malah kecepatan datangnya, satu jam sebelum pulang!”
“Ya Tuhan!”
“Maaf, Nya… Minah takut, Minah marah-marah sama
guru Neng Chintya pas mereka kasih tahu kalau ada perempuan yang menjemputnya
pulang karena katanya si Tuan sakit! Minah langsung nelepon Tuan, kata Tuan,
dia gak nyuruh orang untuk jemput Neng Chintya dan dia Tuan bilang juga kalau
dia sehat, gak sakit sedikitpun!”
“Ya Tuhan!!!” ulangku tambah panik, si Minah
terus menerangkan, dan jantungku semakin tidak karuan, “Tuan sekarang sedang di
jalan pulang, Minah juga udah hubungi polisi, Bapak-bapak polisi itu sudah ada
di rumah saat ini!”
Aku tidak dapat mendengar kata-katanya lagi,
akupun terjatuh ke lantai karena kepalaku terasa sangat pening.
Aku berbaring lemah di sofa, suamiku, Anton,
yang menghadapi pertanyaan tim penyidik kepolisian, begitu juga Minah yang
lebih tahu duduk persoalaannya. Hadirnya juga guru-guru Chintya yang
menyaksikan penjemputan, aku sempat
marah kepada mereka yang mebiarkan orang asing masuk ke area sekolah dan mereka
membiarkan Chintya dibawa oleh asing tersebut. Tapi semua sudah terjadi,
Chintya belum balik, Chintya diculik.
Anton berdiri terpaku di sudut pintu rumah,
matanya yang membengkak karena menangis tadi membuat aku tidak iba melihatnya.
Aku menghampirinya dan memeluknya, “Ayah…” kataku kepadanya, “Aku yakin Chintya
tidak apa-apa!” entah bagaimana dan kenapa aku bisa sekuat ini, “Mungkin mereka
hanya membawa keliling Chintya dan segera mengembalikannya kepada kita!”
“Gila, bagaimana mungkin guru-guru terpelajar
itu bisa seceroboh itu? Bagaimana mereka bisa percaya?”
“Sayang, tidak baik mengumpat!” kataku
menenangkan, “Mungkin penjahat itu menggunakan hipnotis untuk mengelabui guru
Chintya, tidak mungkin mereka seceroboh itu jika tidak ada sesuatu di diri si
penculik.” ia akhirnya terdiam dan hanya terisak menagis, air matanya sekarang
sudah mengering.
Sampai senja datang, belum ada kabar dari
siapapun tentang keberadaan Chintya dan dari pelaku yang biasanya meminta
tebusan.
Sudah hari ke tiga Chintya belum dapat kami
temukan, beberapa orang kantor menyarankan diriku untuk beristirahat lebih lama.
Tapi aku lebih memilih duduk di kursi kerjaku, menangi puluhan klien lewat
pekerjaanku. Mengatas namakan jasa, asuransi aku nilai cukup baik. Namun
suamiku tampak masih memilih membantu pihak kepolisian untuk menemukan anak
kami, Chintya.
“Kenapa kamu tetap memaksa masuk kerja?” tanya
Yulia, disampingnya juga berdiri Mala dan Wawan, mereka bertega membawakan sup
krim ayam dan secangkir teh manis hangat. Aku menatap mereka tanpa ekspresi dan
menjawab dengan cepat. Aku merapikan mejaku beberapa kali seperti orang
ling-lung, “Aku tidak apa-apa…” aku tahu senyumanku barusan sangat kaku.
Tak terasa ini sudah memasuki tahun ke sepuluh
sejak aku dan suamiku kehilangan gadis kecil kami, Chintya, aku membuatkan
sebuah kuae tart istimewa untuknya, dengan lapisan coklat dan komponen
bunga-bunga kecil yang manis serta warna-warni yang indah. Suamiku tidak ikut
merayakan ulang tahun Chintya yang ke 17, ia izin pulang agak malam karena ada
lembur nanti sore, entah sampai jam berapa katanya.
Aku nyalahkan lilin berbentuk angka 17 itu dan
menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun untuknya, untuk gadis kecilku yang kini
mungkin sudah beranjak dewasa. Setelah selesai aku tiup api pada lilin tersebut
sampai seluruh ruangan gelap gulita, “Selamat ulang tahun ke 17, sayang. Semoga
kau baik-baik saja di sana!” akupun tertidur dengan kepala dimiringkan di atas
meja makan.
Rumah Sakit Swasta Jakarta,
Pertengahan September 2012…
“Pak Anton, kenapa anda belum juga mengikuti
saran saya?” Tanya lelaki berkepala plontos dengan jas putih di tubuhnya,
“Maaf, Dok.” jawab pria tampan satu lagi yang terpisahkan oleh meja kayu yang
lebar, “Saya pikir itu hanya sementara, dan banyak wanita yang mengalami hal
serupa seperti yang istri saya alami.”
“Memang benar, tapi kenyataannya tidak., Pak Anton.
Pengangkatan rahim istri anda 18 tahun lalu ternyata berdampak sangat buruk.
Pernikahan Anda yang saat itu berusia 1 tahun harus merelakan istri Anda
kehilangan rahimnya, lewat operasi pengatan sel kanker yang menempel di rahim
istri Anda. Tentunya itu sangat berpengaruh dengan perkembangan psikis istri
Anda yang ingin mendapatkan momongan dengan segera.” dokter itu meletakkan ballpoint-nya di atas buku tebalnya.
Pria yang menjadi lawan bicaranya tertunduk, matanya memerah seperti ingin
menangis, “Baiklah, lalu apa alasan anda ingin menemui saya?” Tanya dokter itu
mengingat inti dari pertemuan dengan kliennya itu lewat telepon sebelum mereka
bertatap muka.
Akhirnya pria tampan berkemeja kotak-kotak merah
putih itu mengangkat wajahnya, “Saat saya berada di kantor tadi, istri saya
menghubungi saya. Katanya ia ingin merayakan ulang tahun Chintya yang ke 17
malam ini. Maka saya berinisitif menemui Anda, dok.”
“Pak Anton, istri Anda saya harapkan di bawa ke
Rumah Sakit Kejiwaan untuk proses lebih lanjut. Pikirannya tidak bisa menerima
kenyataan bahwa Chintya tersebut hanyalah khayalannya saja, Chintya itu tidak
benar adanya. Dan pemikirannya yang membentuk karakter Chintya dalam
bayangannya hanya akan memperkeruh pikirannya, dan di Rumah Sakit tersebut akan
ada pengobatan dan penangan lebih baik.” Sang dokter meneguk air putihnya di
dalam gelas ke dalam mulut, “Imajinasinya sangan luas, Pak… mungkin karena dia
tak kunjung menemukan keberadaan Chintya,
dia menggambarkan seolah Chintya diculik dan sampai sekarang belum
diketemukan.” ia mengambil kertas dan menuliskan beberapa kata di sana, “Saya
akan menitipkan pesan ini kepada dokter Hedi, dia yang akan menangani istri
Anda sebaik mungkin dan saya harapkan istri Anda bisa dapat sembuh total
seperti sedia kala.
Pria bernama Anton menerima surat yang
dimasukkan ke dalam amplop putih berkop Rumah Sakit swasta ini. Ia berjabat
tangan dengan dokter pribadinya, “Terima kasih, Dok…” katanya, si dokter
mengangguk sambil menepuk bahu kliennya, “Tidak perlu berterima kasih kepada
saya, sudah kewajiban saya membantu Anda, Pak. Yang terpenting kuatkan hati
Anda, tanamkan kesabaran lebih di hati Anda untuk dapat menerima semuanya. Dan
semoga istri Anda bisa lekas sembuh dan normal seperti sedia kala.”
Antonpun meninggalkan ruang dokternya menuju
plataran parkir untuk mengambil mobilnya kembali ke rumah menemui istrinya yang
tercinta.
Bogor, 15 September
2012
“Menunggu istriku
pulang mengajar…”
No comments:
Post a Comment
Untuk kemajuan blog saya, harap tinggalkan komentar, kritik, masukkan, dan yang lainnya untuk saya. Sesudah dan sebelumnya saya ucapkan banyak-banyak terimakasih.