Sunday 11 January 2015

Rancangan Tuhan : Target

“Aku tidak akan menawarkan hal yang sama dikemudian hari, jika kau percaya itu akan membawa perubahan, saatnya kau ambil apa yang menurutmu benar!” pria tua yang sejak satu jam tadi menawarkan hal yang sama kepadaku seakan tak jera aku tidak menanggapinya. Bus yang kami tumpangi begitu sarat dengan penumpang, seperti layaknya di Ibu Kota, di kota inipun sama saja, tidak ada yang peduli tentang apa yang terjadi di depan mata mereka. Aku menatap ke luar jendela masih bersikap acuh tak acuh terhadap laki-laki yang berbadan agak bungkuk itu, “Aku juga melihat ada api di bola matamu, sebagai mahasiswa tampaknya kamu tidak akan memilih yang salah, bukan?” jantungku serasa berhenti, setelah satu jam berlalu, kali ini aku melihat dengan seksama lawan bicaraku, “Wah wah wah… matamu lebih bersinar dari yang aku perkirakan.” katanya lagi.
“Dari mana kakek tahu aku mahasiswa?”
“Menyampingkan banyak bukti yang berat dan meninggikan hal sepele yang terlihat, akan sangat cemerlang dan membantu keputusan final kita. Tidak banyak, dari bercak pena yang menempel di tangan kirimu, tanda dari penciplakan tulisanmu atas sebuah buku atau kertas lainnya yang kau gunakan. Disana tertera kata ‘ngustik’ dan kata ‘sar’ yang mungkin berarti ‘lingustik’ dan ‘besar’ tapi itu tidak mungkin, karena ada garis lengkung yang dekat dengan huruf ‘k’ yang berarti itu adalah huruf ‘d’ bukan ‘b’ jadi saya simpulkan itu ‘dasar’. Tunggu biar aku jelaskan, ‘lingustik’ tadi pasti yang dimaksud adalah ilmu bahasa, dan ‘dasar’ pasti dasar dari ilmu bahasa tersebut, jika demikian, kau pasti mahasiswa sastra Indonesia tingkat awal bukan?” mulutku sampai tidak bisa tertutup mendengar penjelasannya, aku melihat tanganku sebelah kiri ternyata ada bekas jiplakan tinta dari buku yang aku tulis untuk mencatat pelajaran yang dosen berikan, “Biasanya jiplakan itu bisa terjadi dari tangan seorang saat sedang berkeringat karena banyak yang dia salin atau tulis di sebuah catatan, tapi lingustik bukanlah cabang ilmu untuk tingkat sekolah, melainkan digunakan oleh para mahasiswa. Banyak kita temukan komunitas sastra di Yogyakarta ini, tapi sedikit sekali kuliah yang mempelajarinya, saya kira tidak perlu sampai menyebutkan kemungkinan dimana kau menutut ilmu, Nak.”
“Cukup, apa yang Anda inginkan dari saya?” tanyaku dengan kesal, “Tidak banyak, tadi sudah saya katakan kalau ada pekerjaan sederhana untukmu, seorang mahasiswa biasa memiliki yang luas untuk menemaniku…”, “Berdebat?” potongku, “Yup, tepat!” aku tertawa, ini bukan pertama kalinya dalam satu jam si kakek mengatakan hal tersebut, tapi dengan fokusnya diriku, aku harus menunjukkan kepadanya siapa diriku dan apa tanggapanku tentang diri dan kelakarnya, “Pekerjaan berdebat hanya dilakukan oleh para pejabat, Pak. Dan saya pastikan sangat membenci jabatan tersebut, selain menghamburkan uang, tanggung jawabnya sangat berat dan beresiko tinggi.”
Aku mendengarnya ia terkekeh, “Apa mungkin saya ini seperti seorang pejabat?” tanyanya, aku tidak menjawab dan terus melihat dirinya. Kali ini dia melihat ke luar jendela, “Sebentar lagi kita akan tiba di Alun-alun. Jika kau tidak ada kegiatan, sekiranya bisa ikut dengan saya sebentar turun dan sedikit berjalan-jalan menyusuri Malioboro? Maklum, kesibukanku tidak setimpal untuk mengambil waktu menikmati beberapa saat di kota yang hebat ini.”
Aku menarik napas panjang, “Jika saya ikut dengan Anda, belum pasti saya mau menerima tawaran Anda tadi.” aku tegaskan kepadanya, dia tersenyum, “Jangan khawatir, pekerjaan ini penting tidak penting, Nak. Yang terpenting adalah apa yang akan kau dapat setelah kau terima nantinya.” akupun akhirnya menganggukkan kepala, setelah bis berhenti, aku dan kakek itu turun di sebuah halte kecil.
Kakek itu aku lihat menarik napas panjang dan mengembuskannya ke udara, “Nak, jika kau seusiaku, kau akan tahu bahwa hidup ini sangat berharga dan sayang sekali untuk dilewatkan begitu saja.” katanya seraya menatap tinggi ke angkasa, “Langit milik Tuhan dan udara ini juga, hmmm… jika kita sadar akan hal ini, kita akan selalu merasa bersyukur bisa dilahirkan ke dunia ini.” ia tersenyum menatapku, “Jadi, apa tujuan kakek meminta saya juga turun di sini?” tanyaku cepat melihat emosi di dalam dirinya lebih terkontrol dan tidak terlalu menggebu-gebu seperti tadi.
“Wah wah wah… kamu ternyata bukan type orang yang suka menikmati sekitar ya.”
“Tidak untuk saat ini, saya cukup lelah telah kuliah seharian, saya ingin kembali ke tempat kost segera menyiapkan tenaga mengerjakan tugas untuk kuliah besok!” tegas, kakek itu tidak melepas senyumnya, ia memintaku berjalan kecil menuju jalan protocol Malioboro yang penuh dengan pedagang kaki lima di trotoarnya, “Itulah hakikat manusia, Nak! Mereka mau selalu bergerak cepat dan praktis dalam hidupnya, seakan mereka adalah robot pekerja yang dituntut mengikuti waktu dan jaman yang terus berputar dan berjalan. Tapi sadarkah kau bahwa tubuhmu bukanlah mesin? Relaksasi sangat dibutuhkan, mengingat kita adalah target!” katanya.
Aku mengertukan kening, “Target?”
Ia mengangguk dan berjalan sedikit melambat dari jalan pelannya tadi, “Target dari sebuah sistem yang telah dirancang sang Pencipta kepada manusia, target dari untuk menjalani sisa usia yang telah kita lewati, targetnya untuk menuju alam kubur yang sudah membentang di depan mata kita!” aku tersentak mendengarnya, “Inilah rancangan Tuhan yang sebenarnya, Nak! Inilah yang sering dirimu dan manusia lain lupakan dalam hidupnya, padahal kamu masih bisa melihat langit dan udara seperti yang saya lakukan tadi!”
“Sebentar!” kataku, “Sebenarnya siapa Kakek sebenarnya? Kenapa Kakek repot-repot menceritakan dan mengingatkanku atas itu semua?”
Ia memasukkan tangannya ke dalam saku celana panjangnya dan tangannya yang lain membetulkan dasinya, saat itulah sebuah mobil sedan berwarna hitam menepi ketempat kami berdiri, “Kau adalah target saya sejak lama! Banyak yang harus saya ajarkan dan beritahukan kepadamu tentang dunia ini, dunia sebenarnya yang berada dibalik dunia yang kamu lihat saat ini, dunia yang realilistis dan maaf, kamu akan membenci dirimu telah mengetahuinya, saya yang mengatur apa yang kamu lihat. Politik, ekonomi, semuanya! Bukan sekedar masa dimana saya hanya menjadi seorang yang dipilih, karena saya juga target dari mereka yang mau menjatuhkan saya, Nak! Percayalah, kamu akan menikmatinya sebagai ajudan saya!” mataku terbelalak, apa yang ia maksud dengan mengatur apa yang aku lihat?
Kakek itu tersenyum lagi, “Saya akan senang jika kamu mau mendengarkan sebuah rencana sederhana dari Tuhan tentang hidup manusia, yaitu beribadah Nak! Manusia dirancang itu menjadi khalifah di bumi ini, memimpin dirinya sendiri, mengangkat keluarganya, mengindahkan wilayahnya, mengharumkan negaranya, dan yang terpenting, mencintai agamanya! Inilah dunia yang sebenarnya, Nak. Dimana kamu dilahrikan dari sebuah proses yang indah, terlahir dengan tidak bisa melakukan apapun tanpa bantuan orang tuamu, lalu tumbuh untuk mendapatkan berbagai ilmu, merasakan cinta dunia, ilmu dunia yang jauh dari kata sempurna, sampai kau tidak tahu kapan akan kembali menghadapnya. Tuhan telah merancang semuanya jauh dari sebelum manusia diturunkan ke bumi, Tuhan telah menetapkan bahwa manusia akan mati, dan targetnya adalah manusia bisa merasakan kesenangan setelah ia meninggalkan dunia ini!” aku seperti tersengat listrik ribuan voltase saat ia mengatakan mengatakan hal tersebut.
“Ikutlah dengan saya, Nak! Jadilah orang yang mengerti takdir yang telah Tuhan rancang dan tetapkan kepada manusia, bumi ini dan alam semesta, jadilah manusia yang bisa mengerti dan mampu menyampaikan kepada orang lain kebenaran dari apa yang Tuhan dan utusan-Nya perintahkan! Dan jadilah seorang manusia yang mengerti tentang dunia ini tanpa harus mengingkari kekuatan terbesar dari semua yang terjadi di hadapanmu dan apa yang akan kau dengar.” ia membuka pintu mobilnya dan memasukinya, “Selamat datang, kau adalah ajudan saya. Saya akan mengurus semua yang kau butuhkan, termasuk melanjutkan kuliahmu dan segalanya tentang keluargamu. Selamat datang di rancangan Tuhan yang siap kau ketahui!” ia memberikan sebuajh kartu nama dan mobilnya melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan Malioboro dan aku yang masih terpaku di sana.

Bogor, 26 Desember 2013
15:47 WIB
“Selamat datang di kisah Rancangan Tuhan.”

No comments:

Post a Comment

Untuk kemajuan blog saya, harap tinggalkan komentar, kritik, masukkan, dan yang lainnya untuk saya. Sesudah dan sebelumnya saya ucapkan banyak-banyak terimakasih.