Wednesday 17 December 2014

Rancangan Tuhan : Percaya

Aku tersenyum melihat wajahnya dari balik kaca yang bening. Tabung oksigen disambungkan dengan selang menuju ke gidung si Kakek.

Matanya yang sayu menggambarkan bahwa penyakit yang dideritanya tidak mudah untuk seusianya. Entah kenapa aku beberapa kali meneteskan air mata untuknya, padahal aku bukan bagian dari dirinya atau keluarga, aku hanya... Ah, apa ya sebutannya? Tempat sampahnya mungkin. Tapi yang dibayar tentunya.

Akhirnya, perawat mengizinkanku untuk memasuki kamar perawatannya. Ia menyambutnya dengan bibir tersenyum tepat dibawah selang yang menggantung ke hidungnya.

"Bagaimana, Kek?" tanyaku pertama kali menyapanya, "Apanya yang bagaimana? Kau tidak lihat keadaanku?" percayalah, dia tertawa saat mengatakannya, "Aku bosan, Nak!" dia menyebutku dengan panggilan itu lagi.

"Kek..." aku duduk di sampingnya setelah perawat meninggalkan kami, "Boleh aku menanyakan sesuatu? Itu juga kalau buat Kakek marah, ya... Tidak jadi!" aku melihatnya ia mengangkat alis dan mencoba menularkan senyuman bibir peyotnya kepadaku.

"Kau mau menanyakan kenapa yang lain tidak aku izinkan menjenguk? Dan kenapa aku memanggilmu?" aku tersentak, tapi tidak terlalu kaget, yakinlah, ini beberapa kali terjadi, seakan dia tahu apa isi otakku ini, "Aku tidak perlu mengiya atau mengatakan tidak atas tebakanmu itu!" kataku dan itu membuatnya tertawa, "Kau sudah kenal siapa aku sebenarnya, Nak. Jadi aku tidak perlu menjawab itu." walah, ini baru ciri sehatnya dia, apa aku harus memanggil dokter untuk meminta Kakek dibawa pulang? Yang benar saja!

"Oke, sekarang begini..." ia mengetuk-ketuk dadanya yang berbalut kain slimut putih bersalur abu-abu, "Bagaimana kalau aku memintamu untuk pergi ke neraka atau surga dan menanyakan kepada Tuhan berapa lama lagi usiaku?" ini bukan lelucon yang pantas menurutku, "Jangan memainkan nama Tuhan, Kek! Kakek masih akan lama di dunia ini, percayalah!" seruku.

Ia menarik napasnya panjang-panjang, "Atas dasar apa kau berkata demikian? Dan atas dasar apa pula aku harus mempercayaimu?" aku jadi ikut-ikutan menarik napas panjang, "Ayolah, Kek... Itu masalah takdir. Kakek pernah menjelaskan bahwa setiap manusia miliki takdir yang mengikatnya, dan itu Tuhan yang mengaturnya." aku mengingatkannya, entah kenapa aku merasa dia sangat kolot kali ini.

"Seberapa besar kau percaya terhadap keberadaan Tuhan?" pertanyaan apa ini? Aku diam sejenak, bukan berarti aku tidak bisa menjawabnya, tapi aku mencari jawaban yang tidak biasa untuk makhluk spesial ini, "Jika aku katakan Tuhan segalanya untukku? Apa yang akan Kakek tanyakan lagi? Lagi pula, setiap manusia di bumi ini menikmati semua fasilitas yang Tuhan kasih, masa iya kita tidak mensyukuri dengan sebuah kepercayaan Tuhan itu ada dan selalu memperhatikan kita?" aku mengakhirinya dengan nada menggantung.

"Jika kau perrcaya Tuhan, kenapa kau bisa menyatakan bahwa usiaku masih panjang? Bukankan Tuhan yang memegang takdir manusia? Aku juga manusia dan pasti takdirku sudah berada di tangan-Nya!" mataku terbelalak mendengarnya, dia mengetestku, "Kek? Bisa tidak sih sehari saja tidak perlu memainkan pikiran?"

Ia tertawa panjang sambil beberapa kali terbatuk-batuk, terpaksa aku menyuapinya air seperti seorang bayi yang baru lahir, "Sudah..." katanyanya dan akupun meletakkan kembali gelas itu sambil menggerutu, "Kakek lagi sakit jadi biarin aja otaknya istirahat dulu."

"Habis..." katanya, "Aku mendengar kabar ganjil, dan itu berasal dari dunia pengetahuan yang aku kagumi!" dia hampir berteriak mengatakan hal itu, "Kabar apa?" tanyaku, "Mereka, para ilmuan itu, mencari tahu dari mana asal semua yang ada di alam semesta. Dengan mengambil teori Big Bang! Kau percaya? Mereka menemukannya, partikel awal yang akan membentuk alam ini dan manusia di dalamnya!"

"Partikel Tuhan?"

"Tepat!" serunya, "Bagaimana bisa mereka menyatakan demikian? Bahwa bumi ini berasal dari partikel yang membentuk kehidupan sendiri? Apa mereka secara tidak langsung menyatakan diri mereka bukan dari Tuhan? Tapi dari atom yang menjurus pada Big Bang? Ini sudah kelewatan!" kali ini dia benar-benar berteriak.

"Apa yang saya lihat, saya sentuh, itulah yang percayai. Itu filsafat yang sangat dasar, Kek. Aku tidak kaget sangat mendengar bahkan mengulangnya." kataku menenangkan, "Ilmu pengetahuan tidak dapat disatukan dengan agama bagi mereka, Kek!" kataku lagi.

Ia menggerakan kepalanya tanda tidak menyetujui pendapatku, "Agama tanpa ilmu adalah kebutaan, dan ilmu tanpa agama akan pincang. Einstein menyatakan itu, itu wanti-wantinya. Dia ilmuan, Nak! Dia penerima nobel, bahkan beberapa media menyatakan dia keajaiban di awal abad 20. Lalu ada apa dengan ilmu sekarang ini?"

"Jangan melebar, Kek. Mereka hanya mencari jawaban dari pertanyaan terbesar sepanjang sejarah, yaitu dari mana semua ini berasal? Dan tentunya mereka mengarang inti-inti molekul di alam ini dan memecahnya lagi sampai tidak bisa dipecah lagi atom-atom tersebut, maka mereka menyatakan partikel tersebut sebagai partikel asal muasal dari pembentukan alam yang luas seperti sekarang." kataku menerangkan sedikit, walau tidak sama persis, setidaknya itu garis besarnya.

"Lalu apa peristiwa pengasingan tidak berlaku lagi?" tanya, "Apa maksud Kakek?" aku menarik kursiku mendekat ke ranjang tempatnya berbaring, "Galileo, Nicholas Copernicus dan banyak ilmuan lain yang dihukum karena menentang pendapat Gereja waktu itu."

"Tapi banyak juga ilmuan yang hasilnya dirubah sedemikian rupa sehingga diklaim oleh bangsa lain." ia berdehem, "Kau yang melebar, itu bukan masalah." katanya, "Dengan menyatakan alien ada, dinosaurus pernah hidup, manusia berasal dari kera, sampai partikel Tuhan! Itu penyimpangan syaraf, Nak!" katanya lagi, aku mengangguk.

"Aku percaya Tuhan, aku manusia yang Berketuhanan. Jadi bisa kita ganti topik? Biarkan mereka mencari tahu sampai mereka puas!" kataku lagi. Ia menatapku lekat.

"Dari agama yang mana Tuhanmu?" tanyanya, "Dari yang aku percayai!" aku mulai tersinggung jika menyangkut ini, aku kerja dengannya sebelumnya belum ada pengungkitan agama atau sejenisnya.

"Aku hanya tidak mau kamu salah, Nak?" katanya, "Percaya dengan agama yang membuat Kitabnya manusia, atau wahyu Tuhan pasti berbeda. Tuhan yang tidak beranak atau diperanakkan dengan yang lahir dari manusia, itu juga berbeda. Sampai ada kandidat yang mencari ketiadaan dengan melakukan kebaikan tanpa berbuat salah, itu juga berbeda!" ia terbatuk sesaat, aku sempat menyebutkan beberapa kali maksud perkataannya dalam hati, tapi aku tidak berani memotongnya.

"Atau agama yang suka mengutak-atik agama lain dengan propaganda bahwa Tuhan memiliki istri dan bisa bernafsu, atau mencoba merubuhkan bangunan yang berdiri dengan tujuan membangun tempat ibadah buat mereka atau menunggu kedatang yang mereka tunggu, itu sangat berbeda. Siapa mereka? Tuhan yang mana?" aku menatapnya lekat, "Tuhan yang hanya satu, bukan dua, tiga apa lagi bercabang dengan tugas yang berbeda saat berbeda tempat." aku bangkit dari dudukku.

Ia menatapku, "Ini inti masalah yang ingin kau bahas. Secara tidak langsung kau telah merujuk apa kepercayaan yang mana. Aku suka caramu, Kek." kataku sambil tersenyum. Ia juga tersenyum lebar, "Aku tidak memancing emosimu kan, Nak? Tapi ketahuilah kalau teori awal yang kita bahas tadi akan aku perdebatkan. Walau nyawaku taruhannya." ia mengangguk saat suster memintanya istirahat.

Aku sempat khawatir dengan perkataan terakhirnya. Aku takut dia terbawa emosi dan kacau semuanya. Tapi aku yakin Tuhan memili rancangan bagi siapa saja yang mempercayai-Nya.

Aku keluar dari kamar perawatan sebelum diusir oleh perawat tadi. Aku memintanya istirahat dan berjanji akan membantu mengurusi "debat"-nya tadi jika dia niat meneruskannya.

Cilebut, 24 Mei 2013
18.37 WIB
"Never ending, biarin deh... Aku menyukainya saat menceritakan soal ini. Tak lugas, maaf..."

No comments:

Post a Comment

Untuk kemajuan blog saya, harap tinggalkan komentar, kritik, masukkan, dan yang lainnya untuk saya. Sesudah dan sebelumnya saya ucapkan banyak-banyak terimakasih.