Thursday 16 April 2015

Rancangan Tuhan (The Humans Mind)

Rintik hujan mengguyur hampir seluruh permukaan bumi yang mulai ditumbuhi oleh pohon-pohon beton tinggi dan angkuh menjulang langit. Sebagian orang sibuk mencari jalan pulang, mencoba menemukan jati dirinya dipelukan istrinya, atau mencoba mengenalkan dirinya tanpa topeng di depan anak-anaknya. Namun di mataku semua itu bagai sandiwara harian saja.

Diskusi yang hampir dilakukan setiap hari oleh Tuanku, membuat hatiku terbuka. Bahkan perbincanganku terakhir itu mengenai psikologi dasar manusia, membuatku sedikit terperangah bahwa semua kebebasan yang dilakukan oleh makhluk bernama manusia hanya untuk menyelematkan dirinya sendiri. Entah dari apa, yang jelas semuanya ingin menjadikan dirinya mengusai banyak hal, dari agamanya sampai agama orang lain, keluarganya, masrtabatnya, dan yang terpenting keuntungan besar untuk dirinya.
“Apa kita mau berdiskusi lagi sekarang?” kakek itu memperhatikanku yang terus mengamati keadaan di luar jendela. Itu membuatku harus melupakan dunia luar yang tadi sempat mengasyikkan pemikiranku. Aku menatapnya lekat, sudah hampir enam tahun aku bekerja dengannya, tetapi aku masih bingung harus menanggapi setiap perkatannya seperti apa. Fasilitas yang diberikan kepadanya, membuatku semakin canggung mendekati areanya yang sempit.
Aku tersenyum sebelum akhirnya mengeluarkan suara, “Tuan, bulan depan genap enam tahun saya berada didekat Anda, mengabdi penuh kepada Anda, bahkan kehidupanku delapan puluh persen mungkin bersama Anda...” kataku perlahan namun pasti, aku hanya takut menyinggungnya dan ia murka, walau aku belum pernah sekalipun melihatnya marah kepada anak buahnya. Ia hanya marah saat berkas yang harus ia tanda tangani tidak sesuai dengan keinginan hidupnya, “Tetapi sangat jarang kita, maksudnya, Tuan dan seluruh karyawan keluar rumah seperti saat ini.” Aku melihatnya mengangguk kecil tanpa melepaskan senyum.
Lalu aku menoleh ke luar jendela, “Di sana...” kataku menunjukkan seorang mengenakan jas rapi dengan kaca mata hitam mengkilap berdiri menghadap ke dalam kedai makan ini, bisa dikatan ini cafe, karena tempatnya sangat nyaman, “Saya tidak perlu menyebutkan namanya, tentu Tuan sangat mengenal dirinya.” kataku, ia masih tersenyum, “Dia sudah bekerja sama Tuan, menurut ceritanya, sudah lebih dari lima belas tahun dan kini telah memiliki dua anak. Lalu di sampingnya...” aku menunjuk ke arah pria lainnya yang berdiri di sebelah sosok yang aku tunjuk sebelumnya, “Namanya pasaran, tapi otak Pak Budi itu bisa diadu dengan otak seoarang profesor sekalipun dan saya yakin dia tetap menang. Pemikirannya yang kritis dan menukik tajam seperti pesawat jet, membuatnya sangat disayangkan hanya berdiri di depan menunggu kita selesai makan!”
Kakek tua itu mengangkat alisnya, “Apa yang kau tunggu?” tanyanya, tidak menyambung dari apa yang aku katakan tadi, “Saya tidak menunggu apapun atau siapapun!” hampir saja aku berteriak kepadanya, tidak lihatkah kesenjangan antara mereka yang tadi aku sebutkan dengan diriku yang bari enam tahun kurang satu bulan bekerja dengannya?
“Yup, kau sedang menunggu, Nak!” katanya tegas, namun suaranya sangat halus. Ia mengambil kopinya dan meneguknya perlahan. Setelah beberapa teguk, ia kembalikan cangkir itu ke atas meja dan melanjutkan perkatannya yang aku tunggu-tunggu, “Kau sedang menunggu sesuatu tanpa kau sadari.” katanya lebih santai mungkin karena kopi pahit yang baru ia teguk, “Hidup ini tidak semudah apa yang kau jalani, tidak sesimple yang kau inginkan, dan tidak begitu saja mengalir tanpa adanya tindakan dari dirimu.” Ia terkekeh-kekeh sejenak dan melanjutkannya lagi, “Namun yang kamu tunggu sangat tidak tepat di tengah syahdunya malam ini. Kedai ini buka dua puluh empat jam, kita sedang duduk menikmati secangkir kopi panas dan kau menambahkan menu kebab. Jangan rusak itu dengan pandangan tajammu seperti Budi dan Hilman disampingnya, kita masih perlu melakukan ini sesering mungkin.” katanya dengan menatapku, kali ini nadanya jauh lebih datar dari yang tadi.
“Maaf...” Kataku, “Saya hanya tidak enak, saya merasa Anda pilih kasih terhadap saya dan mereka. Saya merasa di anak emaskan dibandingkan mereka.” kakek itu mengangguk, “The humans mind...” serunya senang, “Itulah yang ingin otakmu katakan pada lidahmu.” katanya, “Saya setuju jika pemikiran manusia menyatu pada hak asasinya di bumi ini!” aku mengerutkan kening, aku tidak mengerti sama sekali. Namun sepertinya diskusi sudah dimulai, jadi aku mencoba meringankan tubuhku ini dengan melepas jas hitamku, metakkannya di tungkai kayu yang menjadi sandaran kursi yang aku duduki, lalu melonggarkan cekikan tali dasi yang melingkar di leherku. Ia tertawa lebar menyaksikan semua yang aku lakukan barusan.
“Saya hanya mau menyampaikan kalau Anda pilih kasih, Tuan!”
Ia mengangguk, “Benar!’ jawabnya, “Saya memang pilih kasih terhadap semua karyawan saya! Kalau tidak mereka tidak bisa menghormati saya sebagai atasan mereka.” aku mengangkat bahuku mendengar itu, “Memang selama ini saya belum pernah ditekan mereka karena terlalu dekat dengan Anda. Tapi saya tidak mau itu terjadi!”
Ia mendekatkan wajahnya kepadaku, “Tidak akan...” katanya dengan cepat, “Bahkan saya tidak perlu mengatakan, laporkan kepada saya jika mereka mengancammu dalam bentuk apapun karena saya menganak emaskan dirimu!” ia tertawa panjang, “Itu tidak akan terjadi, bahkan dalam pikiran yang normal sekalipun ada pada diri mereka.”
Aku menarik napas panjang, memang susah menanggapi seoarang kakek kolot yang mau menang sendiri, “Oke... oke...” kataku setengah berteriak karena kesal, dan itu malah memuatnya tertawa, “Lalu kenapa Anda mengajak saya ketempat ini?” tanyaku kesal, “Untuk kopi dan kebab ini!” astaga, aku benar-benar kesal. Ia membiarkan para seniorku berdiri di depan kedai makanan ini hanya karena mau mentraktirku secangkir kopi dan satu kebab ukuran sedang, entah aku yang bodoh atau kakek ini mulai tidak waras.
Baru saja aku mau membuka mulutku lagi, aku melihat matanya tidak lagi menatapku. Mata atasanku tersebut mengarah ke tempat lain, senyumnya hilang seketika. Aku bingung melihat tingkahnya yang dapat berubah dengan cepat, akupun mengikuti arah pandangannya. Ternyata ia melihat ke pintu masuk kedai ini yang berkaca agak gelap. Seorang wanita lusuh membawa anak di gendongannya, langsung menuju ke meja kasir, seperti pengemis-pengemis dijalan. Lalu aku melihat si penjaga kasir mengluarkan selembar lima ribuan dari saku pribadinya dan memberikan uang tersebut ke si Ibu tadi.
“Lima ribu...” bisik kakek itu. Aku kembali menghadap ke atasanku, “Apa salah seseorang mensedekahkan hartanya untuk orang lain yang membutuhkan?” tanyaku kepadanya, ia mengangkat bahunya, “Hari ini lima ribu, kemarin lima ribu juga, kemarin lusanya dua puluh ribu, kemarinnya lagi sepuluh ribu. Empat hari empat puluh ribu, untuk seorang pengemis yang sama.” aku mendengarnya, aku masih tidak mengerti maksudnya, jumlah yang disebutkan memang kecil untuk sedekah, tapi kalau sedekah aku harus lihat-lihat keseringan diri pengemisnya atau si peminta sumbangan, “Kita wajib menolong orang kesusahan!” potongku, seakan dirinya ingin menghitung lagi untuk hari yang panjang, ternyata aku benar dalam hal ini, ia memang melakukannya.
Ia mengangguk, “Benar...” katanya, “Saya bukan menganggap dia melakukan hal sia-sia, tentu tidak! Apa lagi sampai memvonisnya terlalu berlebihan dalam tindakannya, karena kita tidak bisa memaksakan kehendak orang lain dalam hal bersedekah. Tapi saya pikir,  jauh lebih baik jika dia membagikannya kepada orang lain juga.” lanjut si Kakek, “Itu hak dia, Tuan!” jawabku ringkas, Kakek itu mengangguk lagi, “Memang, dan apa Tuhan memaklumi perbuatannya?” tanyanya.
Kakek itu ahli dalam ilmu pasti, psikologi dan humaniora, tapi berbicara tentang keberadaan Tuhan sangat jarang, aku hanya mengambil kepositifannya saja, “Apa maksud Anda kalau Tuhan memakluminya? Pastinya Tuhannya sangat senang karena ada yang mendermakan sebagian hartanya kepada fakir miskin.” jelasku kepadanya, ia mengangguk namun wajahnya belum terlihat puas, “Nak, kita sama-sama tahu Upah Minimum Regional (UMR) yang di tetapkan pemerintah untuk daerah ini sangat sedikit. Paling banyak penjaga kasir itu menerima satu koma dua sampai satu koma lima juta saja perbulannya. Mari kita hitung, jika empat hari ini uang yang ia keluarkan empat puluh ribu, berarti rata-rata perharinya sepuluh ribu rupiah, jika sebulan dikurangi empat hari libur, makat tersisa sekitar dua puluh enam harian, dikalikan sepuluh ribu, jadi perbulan ia mengeluarkan dua ratus enam puluh ribu rupiah untuk ia sedekahkan, sangat kecil memang.”
“Lalu apa masalahnya?”
“Orang tua!” jawabnya langsung, aku tersentak, “Masa orang tua tidak senang anaknya rajin bersedekah?” tanyaku kepadanya. Kali ini ekspresi wajahnya mengisyaratkan ketidak senangan, “Apa yang kau pikirkan tentang orang tua?” tanya dengan sangat tajam, “Menurutku? Yang berhubungan dengan sedekah atau kelahiriahan orang tua secara etimologi atau sosial?” tanyaku balik, “Keduanya!” ia masih sangat serius, sehingga aku kesulitan menemukan titik kesenangan dari diskusi saat ini, sebelum menjawab aku menarik napas sedalam-dalamnya menekan titik panikku yang muncul tiba-tiba, “Jika berhubungan dengan sedekah ini, seperti yang saya sebutkan tadi, Tuan... Saya tetap berpendapat, orang tua mana yang tidak senang jika anaknya rajin beribadah dan bersedakah? Karena itu untuk bekal dirinya sendiri di akhirat nanti. Itupun kalau agama yang dia anut mempercayai adanya akhirat!” jawabku lugas dan semoga saja benar, “Namun secara lahiriah, orang tua kita adalah orang yang merawat kita atau memelihara kita dari kecil sampai besar, sampai kita dapat mengerjakan segala sesuatu dengan sendirinya. Tinggal memisahkan menjadi tiga bentuk dasar, yaitu orang tua kandung, orang tua tiri dan orang tua saja dalam bentuk umum.” Aku benar-benar menikmati jawabanku, “Orang tua kandung adalah orang tua yang melahirkan kita, dan tentu orang tua tiri kita sudah pasti tidak perlu susah melahirkan kita, mereka bisa menemukan kita di pertengahan hidup mereka dengan berbagai cara, misalnya dengan menikahi salah satu dari ke dua orang tua kita, atau orang yang menemukan kita disuatu tempat dan merawatnya sampai besar, seperti panti usuhan, atau dengan cara mengikuti sebuah program orang tua asuh yang ingin menggunakan sebagian harta mereka untuk merawat dan menyekolahkan satu ataupun lebih anak-anak yang membutuhkan biaya dan perhatian tersebut. Dan orang tua dalam bentuk umum, adalah orang yang usia sudah lanjut, mungkin bisa berbadan bungkuk, kulit keriput dan rambut ditubuhnya memutih.” dan air kopi masuk ke mulutku.
Ekspresinya tidak berubah, nampaknya aku mengatakan sesuatu yang membuatnya kesal, aku sadari itu. Setelah aku meletakkan kembali kopiku, aku meminta maaf kepadanya, “Maaf jika saya salah dalam menjawabnya dan membuat Anda kesal, Tuan!”
“Bukan jawabanmu yang membuat saya kesal, Nak!”
“Loh, lalu apa?”
“Kamu tidak menjawabku pertanyaan seluruhnya!” mendengar itu keningku berkerut, “Tapi hanya itu cangkupan pengetahuanku tentang arti dari orang tua yang pernah saya dapat.” jawabku menyangkalnya, “Seberapa banyak jasa orang tua dalam hidupmu, Nak?” kali ini mukanya sedikit santai dan menyejukkan saat mengatakan pertanyaan itu, aku menggelengkan kepala, “Tidak dapat dihitung, Tuan! Bagaimana mungkin menghitung tetesan air susu ibu saya, bagaimana pula saya membayangkan sakitnya mendekati sakaratul maut ibu saya saat proses melahirkan terjadi. Ayah saya, bagaimana saya menggantikan posisi kepemimpinan beliau? Saya hanya mampu mendekati kesamaannya yang bijaksana bukan menyamainya.” kataku, ia menganggu, “Lalu dengan apa kau membalasnya, Nak?” saat ia mengatakan itu jantungku serasa berhenti, aku tahu apa maksudnya menanyakan oran tua tadi.
Ia mengangkat alisnya setinggi mungkin, sehingga keriput di keningnya lebih terlihat jelas, “Kita banyak menemukan orang seperti Mbak-mbak petugas kasir tersebut, bahkan melebihinya. Kita sering menemui teman-teman kita atau kenalan kita yang begitu royal terhadap temannya, setiap hari mentraktir temannya, memberi sedekah kepada orang lain dengan jumlah besar, bahkan rela berhutang kepada orang lain untuk menghutangi teman kita yang membutuhkan, kita sebagai perantara jasa pemodal hutang mereka. Kita juga banyak menemukan bagaimana orang-orang mencari restauran-restauran mahal dan bonafit hanya untuk mengajak makan siang teman sejawatnya, atasan ataupun bawahannya, bahkan kekasih dan istrinya. Tapi saat saudara, keluarga, adik, kakak, orang tua kita kesusahan, sangat susah sekali uang-uang kita keluar dari saku, sangat berat rasanya mengeluarkan lembaran-lembaran uang untuk mereka, namun ketika uang tersebut keluar dari sarangnya langsung kita meneriakkan kalau itu adalah hutang dan harus diganti...” keheningan terasa saat ini, pikiran dan hatiku seperti dicambuk malam ini. Aku baru sadari kalau diriku sangatlah jahat sampai hari ini kepada orang tua.
“Jadi...” aku memecah keheningan dengan nada yang sedikit lebih datar dan jauh lebih rendah dari sebelumnya, “Karena ini Tuan mengajak saya ketempat ini?” tanyaku kepadanya. Kakek itu tersenyum, ia membuka kancing jasnya, merogoh sesuatu di dalam saku jas tersebut, dan mengeluarkan sebuah undangan pernikahan berwarna hijau dengan ukiran indah di sana, berinisial, aku sangat kenal undangan ini.
“Nak...” katanya, “Saya sudah mengenal dirimu sejak lima tahun sebelas bulan yang lalu, saya juga sudah memberikan gaji yang menjadi hakmu selama waktu itu, dan tentu kamu tahu harus digunakan untuk apa semua uang tersebut. Dan minggu depan kau akan menikah, jika selama lima tahun lebih ini kamu telah membahagiakan orang tuamu dengan uang-uang dari keringatmu, teruskan! Jangan sampai pernikahan ini membatasimu mengasihi mereka, bahkan berlebihlah dalam memberinya, diskusikan ini kepada kekasihmu nanti. Orang tuanya dan orang tuamu adalah orang tua kalian, urusan kalian tidak akan pernah ada, bahkan diri kalianpun tidak akan pernah lahir di dunia ini jika orang tua kalian tidak melahirkan kalian!” ia meneguk kopinya lagi, mengeluarkan beberapa lembar uang dan meletakkannya di meja. Aku tertunduk mencermati setiap kata-katanya, “Saya mengajakmu ke sini bukan bermaksud menyindirmu, tapi setelah aku menerima undangan pernikahanmu, aku rasa aku harus menyampaikan pesan ini kepadamu, agar dirimu selamat selamanya di dunia maupun diakhirat kelak. Setidaknya, saya telah menyampaikan satu pelajaran berharga untukmu.” ia menuliskan sesuatu pada kertas yang diambilnya dari saku lainnya, entah apa, lalu ia bangkit ke meja kasir dan memberikan kertas tersebut kepada pemberi sedekah tadi.
Tak lama ia memanggilku dan memintaku meninggalkan tempat ini.
Saat berjalan menuju pintu keluar, aku melihat gadis itu membaca tulisan si kakek dan ekspresi selanjutnya benar-benar di luar dugaanku. Air matanya mengalir deras, ia meraung-raung seperti bocah sambil memukul-mukul meja kasir, sampai teman-temannya bingung ada apa dengannya, dan semua pengunjung kedai makan itu memperhatikan tingkahnya yang seperti bayi. Kertas yang dipegangnya tadi terlempar ke arah kakiku, “Maafkan aku...” katanya berteriak sejadi-jadinya, “Maafkan aku ibu... ayah...” katanya sambil terus meraung-raung, menyesali nasibnya.
Aku mengambil kertas tersebut, sambil keluar dari kedai itu, si kakek masuk duluan ke mobilnya, sementara aku berhenti sejenak untuk membaca lembaran kertas kecil tadi : Apa yang telah kamu perbuat kepada orang tuamu sampai saat ini?
Aku kembali mengerutkan kening, kenapa pertanyaan ini bisa membuatnya sangat menderita? Padahal gadis itu tidak mengikuti perbincanganku dengan atasanku yang hebat itu? Aku menatap bergantian antara kertas tersebut dan si kakek yang tersenyum membuka setengah kaca mobilnya, “Kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan dua bulan yang lalu, dari keluarganya hanya dirinya dan adik kecilnya yang masih hidup!” jantungku serasa berhenti untuk kesekian kalinya hari ini. Suara raungan itu masih terdengar sampai di depan kedai makan.
Aku menatap lekat kakek itu, aku benar-benar menatapnya. Sambil menggelengkan kepala, aku tersenyum dan memasuki mobil. Mobil kamipun melesat meinggalkan kedai makan tersebut dengan kecepatan sedang.
“Bagaimana Anda bisa tahu semua ini?” tanyaku kepadanya di sela perjalanan, ia hanya menatapku dan mengangkat bahunya sambil tersenyum lebar.

Depok, 6 September 2012
“2 hari menjelang hari pernikahanku...”

No comments:

Post a Comment

Untuk kemajuan blog saya, harap tinggalkan komentar, kritik, masukkan, dan yang lainnya untuk saya. Sesudah dan sebelumnya saya ucapkan banyak-banyak terimakasih.