Rintik hujan mengguyur hampir seluruh permukaan bumi yang
mulai ditumbuhi oleh pohon-pohon beton tinggi dan angkuh menjulang langit.
Sebagian orang sibuk mencari jalan pulang, mencoba menemukan jati dirinya
dipelukan istrinya, atau mencoba mengenalkan dirinya tanpa topeng di depan
anak-anaknya. Namun di mataku semua itu bagai sandiwara harian saja.
Diskusi yang hampir dilakukan setiap hari oleh Tuanku,
membuat hatiku terbuka. Bahkan perbincanganku terakhir itu mengenai psikologi dasar manusia, membuatku sedikit
terperangah bahwa semua kebebasan yang dilakukan oleh makhluk bernama manusia
hanya untuk menyelematkan dirinya
sendiri. Entah dari apa, yang jelas semuanya ingin menjadikan dirinya mengusai
banyak hal, dari agamanya sampai agama orang lain, keluarganya, masrtabatnya,
dan yang terpenting keuntungan besar untuk dirinya.
“Apa kita mau berdiskusi lagi sekarang?” kakek itu
memperhatikanku yang terus mengamati keadaan di luar jendela. Itu membuatku
harus melupakan dunia luar yang tadi
sempat mengasyikkan pemikiranku. Aku menatapnya lekat, sudah hampir enam tahun
aku bekerja dengannya, tetapi aku
masih bingung harus menanggapi setiap perkatannya seperti apa. Fasilitas yang
diberikan kepadanya, membuatku semakin canggung mendekati areanya yang sempit.
Aku tersenyum sebelum akhirnya mengeluarkan suara, “Tuan,
bulan depan genap enam tahun saya berada didekat Anda, mengabdi penuh kepada
Anda, bahkan kehidupanku delapan puluh persen mungkin bersama Anda...” kataku
perlahan namun pasti, aku hanya takut menyinggungnya dan ia murka, walau aku
belum pernah sekalipun melihatnya marah kepada anak buahnya. Ia hanya marah
saat berkas yang harus ia tanda tangani
tidak sesuai dengan keinginan hidupnya, “Tetapi sangat jarang kita, maksudnya, Tuan
dan seluruh karyawan keluar rumah seperti saat ini.” Aku melihatnya mengangguk
kecil tanpa melepaskan senyum.
Lalu aku menoleh ke luar jendela, “Di sana...” kataku
menunjukkan seorang mengenakan jas rapi dengan kaca mata hitam mengkilap
berdiri menghadap ke dalam kedai makan ini, bisa dikatan ini cafe, karena
tempatnya sangat nyaman, “Saya tidak perlu menyebutkan namanya, tentu Tuan
sangat
mengenal dirinya.” kataku, ia masih tersenyum, “Dia sudah bekerja sama Tuan,
menurut ceritanya, sudah lebih dari lima belas tahun dan kini telah memiliki
dua anak. Lalu di sampingnya...” aku menunjuk ke arah pria lainnya yang berdiri
di sebelah sosok
yang aku tunjuk sebelumnya, “Namanya pasaran, tapi otak Pak Budi itu bisa diadu
dengan otak seoarang profesor sekalipun dan saya yakin dia tetap menang.
Pemikirannya yang kritis dan menukik tajam seperti pesawat jet, membuatnya
sangat disayangkan hanya berdiri di depan menunggu kita selesai makan!”
Kakek tua itu mengangkat alisnya, “Apa yang kau tunggu?”
tanyanya, tidak menyambung dari apa yang aku katakan tadi, “Saya tidak menunggu apapun atau siapapun!”
hampir saja aku berteriak kepadanya, tidak lihatkah kesenjangan antara mereka
yang tadi aku sebutkan dengan diriku yang bari enam tahun kurang satu bulan
bekerja dengannya?
“Yup, kau sedang menunggu, Nak!” katanya tegas, namun
suaranya sangat halus. Ia mengambil kopinya dan meneguknya perlahan. Setelah
beberapa teguk, ia kembalikan cangkir itu ke
atas meja dan melanjutkan perkatannya yang aku tunggu-tunggu, “Kau sedang menunggu
sesuatu tanpa kau sadari.” katanya lebih santai mungkin karena kopi pahit yang
baru ia teguk, “Hidup ini tidak semudah apa yang kau jalani, tidak sesimple yang kau inginkan, dan tidak
begitu saja mengalir tanpa adanya tindakan dari dirimu.” Ia terkekeh-kekeh
sejenak dan melanjutkannya lagi, “Namun yang kamu tunggu sangat tidak tepat di
tengah syahdunya malam ini. Kedai ini buka dua puluh empat jam, kita sedang
duduk menikmati secangkir kopi panas dan kau menambahkan menu kebab. Jangan rusak itu dengan
pandangan tajammu seperti Budi dan Hilman disampingnya, kita masih perlu
melakukan ini sesering mungkin.” katanya dengan menatapku, kali ini nadanya
jauh lebih datar dari yang tadi.
“Maaf...” Kataku, “Saya hanya tidak enak, saya merasa Anda
pilih kasih terhadap saya dan mereka. Saya merasa di anak emaskan dibandingkan
mereka.” kakek itu mengangguk, “The humans mind...” serunya senang, “Itulah
yang ingin otakmu katakan pada lidahmu.” katanya, “Saya setuju jika pemikiran
manusia menyatu pada hak asasinya di bumi ini!” aku mengerutkan kening, aku
tidak mengerti sama sekali. Namun sepertinya diskusi sudah dimulai, jadi aku
mencoba meringankan tubuhku ini
dengan melepas jas hitamku, metakkannya di tungkai kayu yang menjadi sandaran
kursi yang aku duduki, lalu melonggarkan cekikan tali dasi yang melingkar di
leherku. Ia tertawa lebar menyaksikan semua yang aku lakukan barusan.
“Saya hanya mau menyampaikan kalau Anda pilih kasih, Tuan!”
Ia mengangguk, “Benar!’ jawabnya, “Saya memang pilih kasih
terhadap semua karyawan saya! Kalau tidak mereka tidak bisa menghormati saya
sebagai atasan mereka.” aku mengangkat bahuku mendengar itu, “Memang selama ini saya belum pernah ditekan mereka
karena terlalu dekat dengan Anda.
Tapi saya tidak mau itu terjadi!”
Ia mendekatkan wajahnya kepadaku, “Tidak akan...” katanya
dengan cepat, “Bahkan saya tidak perlu mengatakan, laporkan kepada saya jika mereka mengancammu dalam bentuk apapun karena
saya menganak emaskan dirimu!” ia tertawa panjang, “Itu tidak akan terjadi,
bahkan dalam pikiran yang normal sekalipun
ada pada diri mereka.”
Aku menarik napas panjang, memang susah menanggapi seoarang
kakek kolot yang mau menang sendiri, “Oke... oke...” kataku setengah berteriak
karena kesal, dan itu malah memuatnya tertawa, “Lalu kenapa Anda mengajak saya
ketempat ini?” tanyaku kesal, “Untuk kopi dan kebab ini!” astaga, aku
benar-benar kesal. Ia membiarkan para seniorku
berdiri di depan kedai makanan ini hanya karena mau mentraktirku secangkir kopi
dan satu kebab ukuran sedang, entah aku yang bodoh atau kakek ini mulai tidak
waras.
Baru saja aku mau membuka mulutku lagi, aku melihat matanya
tidak lagi menatapku. Mata atasanku tersebut mengarah ke tempat lain, senyumnya
hilang seketika. Aku bingung melihat tingkahnya yang dapat berubah dengan cepat,
akupun mengikuti arah pandangannya. Ternyata ia melihat ke pintu masuk kedai
ini yang berkaca agak gelap. Seorang wanita lusuh membawa anak di gendongannya,
langsung menuju ke meja kasir, seperti pengemis-pengemis dijalan. Lalu aku
melihat si penjaga kasir mengluarkan selembar lima ribuan dari saku pribadinya
dan memberikan uang tersebut ke si Ibu tadi.
“Lima ribu...” bisik kakek itu. Aku kembali menghadap ke
atasanku, “Apa salah seseorang mensedekahkan hartanya untuk orang lain yang
membutuhkan?” tanyaku kepadanya, ia mengangkat bahunya, “Hari ini lima ribu,
kemarin lima ribu juga, kemarin lusanya dua puluh ribu, kemarinnya lagi sepuluh
ribu. Empat hari empat puluh ribu, untuk seorang pengemis yang sama.” aku
mendengarnya, aku masih tidak mengerti maksudnya, jumlah yang disebutkan memang
kecil untuk sedekah, tapi kalau sedekah aku harus lihat-lihat keseringan
diri pengemisnya atau si peminta sumbangan, “Kita wajib menolong orang kesusahan!”
potongku, seakan dirinya ingin menghitung lagi untuk hari yang panjang, ternyata
aku benar dalam hal ini, ia memang melakukannya.
Ia mengangguk, “Benar...” katanya, “Saya bukan menganggap
dia melakukan hal sia-sia, tentu tidak! Apa lagi sampai memvonisnya terlalu
berlebihan dalam tindakannya, karena kita tidak bisa memaksakan kehendak orang
lain dalam hal bersedekah. Tapi saya pikir, jauh lebih baik jika dia
membagikannya kepada orang lain juga.” lanjut si Kakek, “Itu hak dia, Tuan!”
jawabku ringkas, Kakek itu mengangguk lagi, “Memang, dan apa Tuhan memaklumi
perbuatannya?” tanyanya.
Kakek itu ahli dalam ilmu pasti, psikologi dan humaniora,
tapi berbicara tentang keberadaan Tuhan sangat jarang, aku hanya mengambil
kepositifannya saja, “Apa maksud Anda kalau Tuhan memakluminya? Pastinya
Tuhannya sangat senang karena ada yang mendermakan sebagian hartanya kepada
fakir miskin.” jelasku kepadanya, ia mengangguk namun wajahnya belum terlihat
puas, “Nak, kita sama-sama tahu Upah Minimum Regional (UMR) yang di tetapkan
pemerintah untuk daerah ini sangat sedikit. Paling banyak penjaga kasir itu
menerima satu koma dua sampai satu koma lima juta saja perbulannya. Mari kita
hitung, jika empat hari ini uang yang ia keluarkan empat puluh ribu, berarti
rata-rata perharinya sepuluh ribu rupiah, jika sebulan dikurangi empat hari
libur, makat tersisa sekitar dua puluh enam harian, dikalikan sepuluh ribu,
jadi perbulan ia mengeluarkan dua ratus enam puluh ribu rupiah untuk ia
sedekahkan, sangat kecil memang.”
“Lalu apa masalahnya?”
“Orang tua!” jawabnya langsung, aku tersentak, “Masa orang
tua tidak senang anaknya rajin bersedekah?” tanyaku kepadanya. Kali ini
ekspresi wajahnya mengisyaratkan ketidak senangan, “Apa yang kau pikirkan
tentang orang tua?” tanya dengan sangat tajam, “Menurutku? Yang berhubungan
dengan sedekah atau kelahiriahan orang tua secara etimologi atau sosial?” tanyaku balik, “Keduanya!” ia
masih sangat serius, sehingga aku kesulitan menemukan titik kesenangan dari diskusi saat ini, sebelum menjawab aku
menarik napas sedalam-dalamnya menekan titik
panikku yang muncul tiba-tiba, “Jika berhubungan dengan sedekah ini, seperti yang saya sebutkan tadi, Tuan... Saya
tetap berpendapat, orang tua mana yang
tidak senang jika anaknya rajin beribadah dan bersedakah? Karena itu untuk
bekal dirinya sendiri di akhirat nanti. Itupun kalau agama yang dia anut mempercayai adanya
akhirat!”
jawabku lugas dan semoga saja benar, “Namun secara lahiriah, orang tua kita
adalah orang yang merawat kita atau memelihara
kita dari kecil sampai besar, sampai kita dapat mengerjakan segala sesuatu
dengan sendirinya. Tinggal memisahkan menjadi tiga bentuk dasar, yaitu orang tua kandung, orang tua tiri
dan orang tua saja dalam bentuk umum.” Aku benar-benar menikmati jawabanku,
“Orang tua kandung adalah orang tua yang melahirkan kita, dan tentu orang tua
tiri kita sudah pasti tidak perlu susah melahirkan kita, mereka bisa menemukan kita di pertengahan hidup mereka dengan berbagai cara, misalnya dengan
menikahi salah satu dari ke dua orang tua kita, atau orang yang menemukan kita
disuatu tempat dan merawatnya sampai besar, seperti panti usuhan, atau dengan
cara mengikuti sebuah program orang tua asuh yang ingin menggunakan sebagian
harta mereka untuk merawat dan menyekolahkan satu ataupun lebih anak-anak yang
membutuhkan biaya dan perhatian tersebut. Dan orang tua dalam bentuk umum,
adalah orang yang usia sudah lanjut, mungkin bisa berbadan bungkuk, kulit
keriput dan rambut ditubuhnya memutih.” dan air kopi masuk ke mulutku.
Ekspresinya tidak berubah, nampaknya aku mengatakan sesuatu
yang membuatnya kesal,
aku sadari itu. Setelah aku meletakkan kembali kopiku, aku meminta maaf
kepadanya, “Maaf jika saya salah dalam menjawabnya dan membuat Anda kesal,
Tuan!”
“Bukan jawabanmu yang membuat saya kesal, Nak!”
“Loh, lalu apa?”
“Kamu tidak menjawabku pertanyaan seluruhnya!” mendengar itu
keningku berkerut, “Tapi hanya itu cangkupan pengetahuanku tentang arti dari
orang tua yang pernah saya dapat.” jawabku menyangkalnya, “Seberapa banyak jasa orang tua dalam hidupmu,
Nak?” kali ini mukanya sedikit santai dan menyejukkan saat mengatakan
pertanyaan itu, aku menggelengkan kepala, “Tidak dapat dihitung, Tuan!
Bagaimana mungkin menghitung tetesan air susu ibu saya, bagaimana pula saya
membayangkan sakitnya mendekati sakaratul maut ibu saya saat proses melahirkan
terjadi. Ayah saya, bagaimana saya menggantikan posisi kepemimpinan beliau?
Saya hanya mampu mendekati kesamaannya yang bijaksana bukan menyamainya.”
kataku, ia menganggu, “Lalu dengan apa kau membalasnya, Nak?” saat ia
mengatakan itu jantungku serasa berhenti, aku tahu apa maksudnya menanyakan
oran tua tadi.
Ia mengangkat alisnya setinggi mungkin, sehingga keriput di
keningnya lebih terlihat jelas, “Kita banyak menemukan orang seperti Mbak-mbak
petugas kasir tersebut, bahkan melebihinya. Kita sering menemui teman-teman
kita atau kenalan kita yang begitu royal terhadap temannya, setiap hari
mentraktir temannya, memberi
sedekah kepada orang lain dengan jumlah besar, bahkan rela berhutang kepada
orang lain untuk menghutangi teman kita yang membutuhkan, kita sebagai perantara jasa pemodal hutang mereka.
Kita juga banyak menemukan bagaimana orang-orang mencari restauran-restauran
mahal dan bonafit hanya untuk mengajak makan siang teman sejawatnya, atasan
ataupun bawahannya, bahkan kekasih dan istrinya. Tapi saat saudara,
keluarga, adik, kakak, orang tua kita kesusahan, sangat susah sekali uang-uang
kita keluar dari saku, sangat berat rasanya mengeluarkan lembaran-lembaran uang
untuk mereka, namun ketika uang tersebut keluar dari sarangnya langsung kita
meneriakkan kalau itu adalah hutang dan harus diganti...” keheningan terasa
saat ini, pikiran dan hatiku seperti dicambuk malam ini. Aku baru sadari kalau
diriku sangatlah jahat sampai hari ini kepada orang tua.
“Jadi...” aku memecah keheningan dengan nada yang sedikit
lebih datar dan jauh lebih rendah dari sebelumnya, “Karena ini Tuan mengajak
saya ketempat ini?” tanyaku kepadanya. Kakek itu tersenyum, ia membuka kancing
jasnya, merogoh sesuatu di dalam saku jas tersebut, dan mengeluarkan sebuah
undangan pernikahan berwarna hijau dengan ukiran indah di sana, berinisial, aku
sangat kenal undangan ini.
“Nak...” katanya, “Saya sudah mengenal dirimu sejak lima
tahun sebelas bulan yang lalu, saya juga sudah memberikan gaji yang menjadi hakmu
selama waktu itu, dan tentu kamu tahu harus digunakan untuk apa semua uang
tersebut. Dan minggu depan kau akan menikah, jika selama lima tahun lebih ini
kamu telah membahagiakan orang tuamu dengan uang-uang dari keringatmu,
teruskan! Jangan sampai pernikahan ini membatasimu mengasihi mereka, bahkan
berlebihlah dalam memberinya, diskusikan ini kepada kekasihmu nanti. Orang
tuanya dan orang tuamu adalah orang tua kalian, urusan kalian tidak akan pernah
ada, bahkan diri kalianpun tidak akan pernah lahir di dunia ini jika orang tua
kalian tidak melahirkan kalian!” ia meneguk kopinya lagi, mengeluarkan beberapa
lembar uang dan meletakkannya di meja. Aku tertunduk mencermati setiap
kata-katanya, “Saya mengajakmu ke sini bukan bermaksud menyindirmu, tapi
setelah aku menerima
undangan pernikahanmu, aku rasa aku harus menyampaikan pesan ini kepadamu, agar
dirimu selamat selamanya di dunia maupun diakhirat kelak. Setidaknya, saya
telah menyampaikan satu pelajaran berharga untukmu.” ia menuliskan sesuatu pada kertas yang
diambilnya dari saku lainnya, entah apa, lalu ia bangkit ke meja kasir dan
memberikan kertas tersebut kepada pemberi sedekah tadi.
Tak lama ia memanggilku dan memintaku meninggalkan tempat
ini.
Saat berjalan menuju pintu keluar, aku melihat gadis itu
membaca tulisan si kakek dan ekspresi selanjutnya benar-benar di luar dugaanku.
Air matanya mengalir deras, ia meraung-raung seperti bocah sambil memukul-mukul
meja kasir, sampai teman-temannya bingung ada apa dengannya, dan semua
pengunjung kedai makan itu memperhatikan tingkahnya yang seperti bayi. Kertas yang
dipegangnya tadi terlempar ke arah kakiku, “Maafkan aku...” katanya berteriak
sejadi-jadinya, “Maafkan aku ibu... ayah...” katanya sambil terus
meraung-raung, menyesali nasibnya.
Aku mengambil kertas tersebut, sambil keluar dari kedai itu,
si kakek masuk duluan ke mobilnya, sementara aku berhenti sejenak untuk membaca
lembaran kertas kecil tadi : Apa yang telah kamu perbuat kepada orang tuamu
sampai saat ini?
Aku kembali mengerutkan kening, kenapa pertanyaan ini bisa
membuatnya sangat menderita? Padahal gadis itu tidak mengikuti perbincanganku dengan atasanku yang hebat itu?
Aku menatap bergantian antara kertas
tersebut dan si kakek yang tersenyum membuka setengah kaca mobilnya, “Kedua
orang tuanya meninggal dalam kecelakaan dua bulan yang lalu, dari keluarganya
hanya dirinya dan adik kecilnya yang masih hidup!” jantungku serasa berhenti
untuk kesekian kalinya hari ini. Suara raungan itu masih terdengar sampai di
depan kedai makan.
Aku menatap lekat kakek itu, aku benar-benar menatapnya. Sambil menggelengkan
kepala, aku tersenyum dan memasuki mobil. Mobil kamipun melesat meinggalkan
kedai makan tersebut dengan kecepatan sedang.
“Bagaimana Anda bisa tahu semua ini?” tanyaku kepadanya di
sela perjalanan, ia hanya menatapku dan mengangkat bahunya sambil tersenyum
lebar.
Depok, 6 September 2012
“2 hari menjelang hari
pernikahanku...”
No comments:
Post a Comment
Untuk kemajuan blog saya, harap tinggalkan komentar, kritik, masukkan, dan yang lainnya untuk saya. Sesudah dan sebelumnya saya ucapkan banyak-banyak terimakasih.