Wednesday 17 June 2015

Kisah di Akhir Senja



Cahaya kemerahan tampak mulai muncul di ufuk barat, tampaknya matahari berjalan perlahan ke praduannya dan  memberikan kesempatan kepada bulan untuk menggantikan waktu kejayaannya di siang hari. Ya, senja itu terasa sangat hangat di punggung seorang nenek tua yang melangkah  lambat di antara pohon rindang dan udara yang sejuk. Dia tidak lupa arah, hanya mengikuti bayangan masa kecilnya yang telah menghilang di telan waktu.

Desa yang jauh dari langkahnya di belakang, seakan meninggalkan banyak luka sayatan di jantungnya. Dia tidak akan lupa permainan gobak sodor atau sekedar bermain karet gelang yang dirangkai panjang dan kawan-kawannya melompat melewati tali melar tersebut. Sebentar dia menoleh lalu melangkah lagi. Sudah lamakah peristiwa itu?
Tak ada seorangpun yang menjawabnya, ia sendiri dan akan terus begitu sampai ia tahu kalau ajalnya akan tiba.
Tidak seorangpun yang peduli saat ia meninggalkan gapura dan melepaskan kehidupannya ke tengah hutan rindang seperti ini ini. Tidak ada yang peduli ketika terompahnya terbenam di dalam kubangan lumpur yang basah dan berbau anyir, Semua orang ada saat itu, namun hanya berdiam di balik pintu masuk desa, memeluk anak-anak dan istri mereka, dengan wajah ketakutan namun berlega ria. Si nenek sempat terhuyung karena lumpur tadi, namun hanya goyah tidak terjerembab ke tanah.
Waktu itu ia menoleh ke belakang, desa mungil yang berpenduduk ceria dulu, ia menoleh untuk melihat rumah Tuhannya, sebuah mushallah tua yang dindingnya mulai retak dan kayu-kayunya penyangganya mulai reyot. Ia lupa kapan adzan terdengar di dalamnya. Banyak penduduk yang takut beribadah di sana, karena takut bangunannya rubuh saat mereka di dalamnya.
Kakinya terus melangkah, kali ini ia baru saja melewati hutan pinus yang dingin dan menuju kawasan padang rumput sebagai tanda di ujung sana ia akan bertemu dengan jalan raya beraspal yang lembut.
Namun tubuhnya yang sudah  renta mulai lemas, peluh di tubuhnyapun mulai menumpuk, ia kelelahan. Dengan sedikit gerakan yang kembali goyah, si nenek menjadi alas untuk duduk, ia berniat istirahat sebentar sebelum kembali melanjutkan perjalanannya. Nenek itu menemukannya, batu yang ditumbuhi lumut hijau dan berukuran cukup hitam berwarna hitam legam.
Dibantu oleh tongkat yang sejak awal dibawanya, ia mengetuk-ketukkan tongkat kayu itu mengecek amankah dirinya. Rupanya aman, batu itu kuat dan berada di tanah yang keras, sehingga tidak akan terbenam lebih dalam saat di dudukinya. Iapun duduk dan segera mengurut kakinya yang mulai pegal, terompahnya dilepas dan melihat jemarinya yang mulai lecet di sana sini. Tidak mudah ternyata mengenakan alas kaki yang terbuat dari kayu itu di medan seberat tadi.
Baru saja mata sayunya ingin menerawang, mengingat kenangan manis yang telah ia tinggal, ada suara seseorang dari arah belakangnya, “Ah, akhirnya! Tuh liihat gue udah nemu jalan yang benar untuk keluar dari hutan ini!” seoarang pria, nenek itupun memutar tubuhnya ke arah asal suara itu, ternyata suara dari seorang pemuda berjaket tebal dengan dalaman kaus obling warna biru cerah. Anak Muda itu tidak sendirian, ada empat orang lagi dibelakangnya, dua diantaranya perempuan, yang satu berkerudung dan yang lainnya rambutnya disanggul sehingga membentuk sepeti konde kecil di kepalanya.
“Lihat, Fer!” seorang yang berkerudung menunjuk ke arah si nenek yang sedang melepas lelah di sebuah batu besar, “Ada dia penduduk di sekita sini?” tanya perempuan lain yang rambutnya disanggul tadi. Seorang laki yang pertama kali tadi bersuara hanya mengangkat bahunya, dia yang bernama Fero. Pria lainnya menyusul Fero dan meletakkan tasnya di bawah pohon pinus yang tinggi besar, “Biar gue yang cari tahu, mungkin kita bisa tanya jalan.” katanya mengajukan diri.
“Mmm... maaf, nek.” Laki-laki muda itu mulai membuka komunikasi kepada si nenek, nenek itu mengangkat alisnya dan tersenyum dengan gigi yang mulai jarang-jarang, “Nenek penduduk sekitar sini ya? Maaf sebelumnya, saya dan ke empat teman saya ini tersesat, kami terpisah dari rombongan dan sedang mencari jalan. Sayangnya, kami berlima tidak hapal jalan yang sebelumnya rombongan kami lalui. Apa Nenek ahu ke arah mana jalan rayanya? Atau mungkin kalau jauh, bisa tunjukkan dimana letak desa nenek jika lebih dekat, karena hari mulai malam.”
Nenek itu masih tersenyum, “Kalian dari Jakarta?” tanya nenek itu, mereka menggelengkan kepala, “Bukan, kami dari Bandung, Nek!” jawab laki-laki di hadapannya, “Oh, begitu.” Nenek itu bangkit dari duduknya dan berdiri di samping batu besar yang ia duduki tadi, “Jalan raya disana!” katanya sambil menunjuk ke arah timur, dimana itu berarti membelakangi matahari yang sedang terbenam, “Tidak jauh dari padang rumput ini, nanti kalian akan menemukan padang lain yang banyak tumbuhan semak-semak dan rumput-rumput tinggi. Jalan terus dan nanti akan bertemu dengan jalan yang Nenek maksudkan.” wajah mereka kembali ceria. Laki-laki tadi mengangguk, “Apa keburu sampai jalan ya Nek, kalau melihat matahari mulai tenggelam?” nenek itu melihat ke arah barat, cahaya kemerahan mulai menghilang dari biasan langit biru yang berubah keunguan tua, “Sebenarnya tidak jauh, tapi dengan kalian yang masih muda-muda, Nenek tidak tahu. Karena Nenek biasa berjalan perlahan dari desa Nenek, dari sini ke jalan itu biasanya Nenek bisa sampai kurang lebih satu jaman.”
Mendengar itu wanita berkerudung kembali lemas, “Wah, kalau begitu kita tidak bisa lebih cepat lagi, sekarang saja sudah jam enam sore, tidak akan keburu walaupun kia lari.” Wanita bersanggul mengangguk cepat menyetujui usul temannya, “Ditta benar, San!” serunya, “Matahari sudah terbenam, kita beruntung saja sebab senjanya belum lewat, sehingga masih ada cahaya di langit, ditambah kia saa ini berada di alam yang luas, arang ada pohon, tapi lihat disana, semak-semaknya tinggi, dan ada beberapa pohon besar, cahaya tidak akan bisa menembusnya. Senter kita juga batrainya sudah habis.”
Si kerudung Ditta menganggukan kepalanya, “Sepertinya kita bermalam lagi di hutan ini!” katanya, “Bermalam lagi?” tanya si Nenek mengulangi perkataan Ditta yang terucap tadi, “Ya, Nek! Kita sudah dua hari tersesat. Berharap menemukan jalan malah kita berputar-putar di dalam hutan.” si Nenek mengerutkan keningnya, ia merasa sangat iba, akhirnya Nenek itu membuka buntalan kainnya dan mengeluarkan sebuah kantung plastik dari dalamnya.
“Ini bekal yang Nenek bawa, makanlah, mungkin kalian lapar!”
“Tidak perlu, Nek!” pria bernama Fero tadi menghampiri dirinya yang juga tampak kelelahan, “Kami sudah menemukan Nenek, itu tandanya kita bakal di temukan!” katanya, si Nenek mengerutkan keningnya tampak bingun. Mau ia menanyakan hal lain buat mereka, sayangnya matanya terlalu mengantuk untuk membuka mulut, “Tampaknya Nenek kelelahan dan mengantuk.” Ditta mengelus kepala Nenek itu, laki-laki yang belum nenek ketahui namanya, mengeluarkan sebuah kasur lipat dengan selimut, “Nenek tidurlah! Kami yang akan berjaga di sekitar sini!”
Nenek itu menganggukkan kepala, ia merebahkan disiri di kasur lipat yang dibawa laki-laki tadi, sebelum tertidur, ia melihat Fero sedang berusaha menghidupkan api unggun dan Ditta dan pria yang dipanggil San, entah Sandi atau San yang lainnya, sedang mengeluarkan peralatan tendanya.
“Kita bermalam di sini!” seru salah satu diantara mereka, entah siapa, nenek itu sudah kepalang mengantuk. Dan iapun tertidur.


“Nek!” suara seseorang terdengar ditelinganya, matanya masih tertutup rapat, rasa kantuk masih menggelayutinya, namun lelahnya sudah hilang karena ia bisa beristirahat. Ia berusaha membuka mata dan melihat siapa yang membangunkannya.
Ada segerombolan lain yang kini berdiri dihadapannya, cukup banyak sekitar sepuluh sampai lima belas orang. Semuanya berkaus lengan panjang orange dengan garis hitam dibagian lengan. Hampir semua dari mereka mengenakan topi di kepalanya, seperti topi memancing. Ada yang berwarna abu-abu muda, hitam atau coklat pucat. Mereka juga membawa ransel seperti rombongan Ditta, Fero, San dan dua orang temannya. Tapi ia tahu ini rombongan berbeda.
“Nenek bermaam di sini?” tanya laki-laki yang membangunkannya, nenek itu mengangguk perlahan dengan berusaha sekuat tenaga memulihkan pandangannya.
“Pur! Lihat!” seorang diantara mereka menunjuk ke aras sisi lain padang rumput tak jauh dari si nenek terbaring, “Gila!” serunya, “AAAAAAA....” ternyata ada wanita diantara rombongan itu, si nenek tanpa sadar bersendawa besar. Semua rombongan menoleh kearahnya, “Pur, liat tubuh nenek itu!” rupanya laki-laki yang membangunkannya bernama Pur. Pur melihat tubuh si nenek, matanya memancarkan ketakutan, si nenek sendiri tampak kebingungan dengan kegaduhan yang tiba-tiba hadir ditngah mereka. Bahkan dari mereka ada yang mual dan akhirnya muntah.
Si nenek mencoba bangkit dengan kakinya yang masih gemetar karena belum sadar benar, matanya terbelalak dengan apa yang dia lihat dari tubuhnya sendiri. Tanpa ia sadari, mulutnya terbuka dan ia bersendawa lagi, kali ini lebih keras. Si nenek merasa perutnya penuh terisi.
“Mas Purnama...” rupanya Pur kependekan dari Purnama, “Sebaiknya elo ngejauh dari tuh Nenek!” teriak seorang yang tampak lebih tua dari Purnama yang di hadapan nenek tua itu, “Mas, kondisinya sama seperti di desa yang tadi pagi kita temukan!” kata orang lain yang sedang meneliti apa yang dilihatnya. Si nenek berjalan gontai, ia mundur beberapa langkah ke belakang dan hampir mendeka pohon pinus. Namun belum sampai di sisi hutan, kakinya menginjak sesuatu dan iapun terjatuh di atas rerumputan hijau.
Nenek itu mencium bau anyir di sekelilingnya, ia mencari batu yang ia kia telah menjatuhkan dirinya, akan tetapi dia menemukan bentuk lain mengerikan. Potongan tangan memegang cermin kecil bundar itulah yang membuatnya terjatuh, “AAAAA!!!” si nenek memekik kencang melihat pemandangan mengerikan itu. Lelaki bernama Purnama yang sepertinya pemimpin rombongan mengerutkan keningnya, namuan ia sadar dan segera mengarahkan tongkat kayu yang dipegangnya ke arah si nenek, “Nek, sebaiknya Nenek tetap di sana dan jangan bergerak!” teriak Purnama, beberapa temannya seperti berlindung di balik tubuh Purnama.
Sementara tubuh tua yang jatuh tadi mengambil cermin di potongan tadi dan mencoba melihat wajahnya, melihat apa yang anak-anak-muda itu lihat dari wajahnya sampai ketakutan. Matanya terbelalak setelah melihat apa yang ada di dalam cermin, wajahnya, yang penuh dengan darah mengering, terutama di sekitar mulutnya. Ia saadar kenapa Purnama dan rombongannya ketakukan melihat dirinya, “BUKAN SAYA PELAKUNYA!” teriaknya, “BUKAN SAY...”
“BUK!!!” kata-katanya terhenti ketika seeorang memkul pundaknya dengan sebilah kayu. Si nenekpun terjatuh kembali ke atas rumput.
“Maaf, saya harus melakukannya, Mas!” suara laki-laki, ia memukul nenek tersebut sampai tersungkur.
Diantara setengah sadarnya, wanita tua itu melihat Purnama mengeluarkan sesuatu dari sakunya, “Tim dua kepada tim tiga...” katanya, ruapanya ia menghubungi rombongan lain lewat alat itu, “Masuk tim dua!” suara dai seberang sana, “Kami menemukan mayat mahasiswa yang hilang tiga hari lalu, sayangnya kondisi mereka sudah tidak utuh lagi.”
“Mereka di serang binatang?”
“Bukan, Mas! Tapi sepertinya kami sudah membekuk pelakunya!”
“Pelakunya? Manusia?”
“Iya, Mas... Wanita, tua renta!”
“Kalian Gila! Tidak Mungkin!”
“Memang, tapi dari darah yang berceceran di tubuhnya, dan darah kering di mulutnya, kami khawatirkan nenek ini pelakunya!”
“Pur, kalian nemuin nenek kanibal?”
“Itu yang kami simpulkan sementara, sepertinya desa yang kami lewati tadi pagi juga kondisi penduduknya sama dengan yang kami temukan saat ini!”
Desa, apa itu desa yang nenek ini tinggalkan? Desa kenangan dirinya di masa kanak-kanak yang indah sampai ia menghabiskan waktu dan usianya disana? Ia tidak bisa berpikir, kesadarannya semakin lama semakin pudar iapun akhirnya tak sadarkan diri sepenuhnya beberapa saat setelah beberpa orang menyeretnya ke sisi pohon pinus tempat sebuah tas tergeletak juga disana.


Kemayoran, 8 Juni 2015
“Kembali ke cerita misteri... hehehe...”

No comments:

Post a Comment

Untuk kemajuan blog saya, harap tinggalkan komentar, kritik, masukkan, dan yang lainnya untuk saya. Sesudah dan sebelumnya saya ucapkan banyak-banyak terimakasih.